Notification

×

Iklan

Iklan

Keterlibatan AS dalam Genosida di Gaza Sangat Kuat

Selasa, 14 Mei 2024 | Mei 14, 2024 WIB Last Updated 2024-05-15T14:33:09Z

 

Tentara Israel tengah mempersiapkan amunisi untuk menyerang Gaza (Foto: Anadolu Agency/Mostafa Alkharouf)


Gaza - Penangguhan pengiriman senjata AS ke Israel ini tidak akan berdampak pada tambahan bantuan militer senilai US$827 juta yang baru saja disahkan pemerintahan Joe Biden. Dengan kata lain setara dengan memberi seseorang ratusan dolar setiap hari dan kemudian berpura-pura menahan lima sen.

 

Keputusan pemerintahan Biden untuk menunda pengiriman 3.500 bom bukanlah sebuah pengkhianatan terhadap Israel. Pembatalan pengiriman ini hanya sebagian kecil dari bantuan senjata Amerika Serikat (AS) yang telah digunakan untuk melancarkan aksi genosida Israel di Gaza.

 

Pada hari Rabu, 8 Mei, tidak seperti biasanya, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin menjadi pejabat senior pemerintah pertama yang mengonfirmasi secara terbuka bahwa pemerintahnya telah menghentikan pengiriman senjata ke Israel. Selama tujuh bulan terakhir, militer Israel telah membunuh sekitar 35.000 warga Palestina di Jalur Gaza dengan dukungan kuat AS.

 

Berbicara pada sidang subkomite Senat, Menteri Austin mengatakan bahwa jeda tersebut terjadi “dalam konteks peristiwa yang terjadi di Rafah”, kota di Gaza selatan di mana sekitar 1,4 juta warga Palestina, termasuk lebih dari 600.000 anak-anak, saat ini mengungsi. Mayoritas dari orang-orang ini terpaksa mengungsi ke Rafah dari wilayah lain di Gaza, sesuai modus operandi Israel yang berulang kali menjadikan warga Palestina sebagai pengungsi.

 

Kolumnis Al Jazeera Belén Fernández mengungkapkan, meskipun Rafah hampir tidak terhindar dari teror dan pembantaian yang menjadi ciri operasi Israel selama tujuh bulan terakhir di wilayah kantong pesisir tersebut secara keseluruhan, namun ancaman serangan besar-besaran terhadap warga sipil yang terjebak di kota tersebut telah membuat mereka semakin ketakutan. “Tak heran, AS sebagai negara adidaya sahabat setia Israel agak mual melihatnya,” kata Fernández.

 

Berita mulai bermunculan pada akhir pekan bahwa pemerintahan Joe Biden telah mengambil tindakan untuk menangguhkan pengiriman amunisi ke Israel yang mungkin digunakan dalam serangan Rafah. Penundaan pengiriman tersebut terdiri dari 3.500 bom, 1.800 di antaranya berbobot 2.000 pon (907kg) dan 1.700 berada dalam kategori 500 pon (227kg). Transfer senjata tertentu lainnya ke Israel juga dikatakan sedang ditinjau.

 

Apakah Ini Pencitraan AS?


Menurut Fernández tentu saja ini pencitraan gaya AS. Hal ini mengingat AS telah secara aktif mendukung genosida dan kelaparan di Gaza selama lebih dari setengah tahun dengan segala macam amunisi dan uang, tidak jelas mengapa kasus Rafah tiba-tiba menimbulkan kekhawatiran besar. “Ini juga berpotensi menjadi pencitraan yang bagus bagi Pemerintah Joe Biden,” katanya.

 

Sebelum pernyataan Menteri Austin, para pejabat AS tidak memberikan komentar apapun mengenai laporan kemungkinan penangguhan pengiriman senjata. Dalam konferensi pers tanggal 6 Mei, misalnya, Penasihat Komunikasi Keamanan Nasional John Kirby menolak untuk mengkonfirmasi apakah laporan tersebut benar atau tidak, dan malah mengumumkan: “Yang bisa saya katakan kepada Anda adalah… dukungan kami terhadap keamanan Israel tetap kuat. Dan saya tidak akan membahas secara spesifik – mengenai satu pengiriman dibandingkan pengiriman lainnya.”

 

Memang benar bahwa “sangat kuat” (ironclad) adalah kata yang tepat menggambarkan sikap para pemimpin politik AS dalam memberikan dukungan terhadap Israel. Ini berarti pula, pada akhirnya, kebiasaan Israel membantai warga Palestina akan selalu dibela dibandingkan dengan hak warga Palestina.

 

Sementara komentar Kirby bahwa “satu pengiriman lebih penting daripada pengiriman lainnya” sudah cukup menjelaskan. Lagi pula, ada banyak sekali pengiriman senjata AS ke Israel sehingga menunda pengiriman 3.500 bom bukanlah sebuah pengkhianatan terhadap Israel, seperti yang digambarkan oleh beberapa anggota sayap kanan AS.

 

Sebagai permulaan, Menteri Austin menekankan dalam pidatonya di subkomite Senat bahwa penghentian pengiriman senjata tidak akan mempengaruhi bantuan tambahan sebesar US$26 miliar atau sekitar Rp418,7 triliun kepada Israel yang disetujui Kongres AS pada bulan April.

 

Jumlah ini melebihi miliaran dolar yang telah diberikan setiap tahunnya kepada Israel oleh AS – yang sebagian besarnya, menurut catatan Dewan Hubungan Luar Negeri, “disediakan sebagai hibah di bawah program Pembiayaan Militer Asing (FMF), yaitu dana yang harus ditanggung Israel digunakan untuk membeli peralatan dan layanan militer AS”.

 

Tambahan Bantuan Militer kepada Israel Jalan Terus

Penangguhan ini juga tidak akan berdampak pada tambahan bantuan militer senilai US$827 juta atau sekitar Rp13,3 triliun yang baru saja disahkan oleh pemerintahan Biden untuk Israel. “Dengan kata lain, hal ini sebagian besar bersifat bisnis seperti biasa – setara dengan memberi seseorang memberi ratusan dolar setiap hari dan kemudian berpura-pura menahan lima sen,” kata Fernández.

 

Menurut Kebijakan Transfer Senjata Konvensional AS, pemerintah AS berkewajiban untuk mencegah … transfer senjata yang berisiko memfasilitasi atau berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia atau hukum kemanusiaan internasional. Namun, apa yang terjadi dengan bantuan senjata kepada Israel memperlihatkan bahwa AS telah melanggar kebijakan luar negerinya sendiri yang sudah dibuatnya sejak lama.

 

Bahkan sebelum terjadinya pelanggaran global besar-besaran yang dikenal sebagai “Perang Melawan Teror” pada tahun 2001, Amerika telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memungkinkan pertumpahan darah massal dari Amerika Latin ke Timur Tengah dan sekitarnya. Tak heran dalam kasus Israel, dukungan AS sangat konsisten terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional di Palestina dan Lebanon.


(nes/ken)


×
Berita Terbaru Update