Para pedagang memajang beragam jenis manisan untuk dijual saat masyarakat berbelanja menjelang Idul Adha di Pasar Al-Melh di Sanaa, Yaman, pada 11 Juni 2024. (Xinhua)
Sanaa, Yaman - Perang
saudara yang berlangsung selama hampir satu dasawarsa, membuat Yaman kini
menghadapi tantangan baru, yaitu tekanan tambahan akibat eskalasi krisis di
Laut Merah terhadap ekonomi negara tersebut yang telah lumpuh.
Di Kota Tua Sanaa, Pasar Al-Melh yang tersohor dahulu
terkenal dengan lorong-lorongnya yang rumit yang dipenuhi dengan berbagai jenis
barang khas Idul Adha yang terjangkau dan menarik, mulai dari pakaian
warna-warni hingga nampan-nampan yang berisi kudapan manis.
Namun tahun ini, dengan semakin dekatnya salah satu hari
raya terpenting bagi umat Muslim, pasar tersebut tampak lebih sepi daripada
waktu subuh saat orang-orang menunaikan ibadah.
"Ini seperti kota hantu," keluh Qasim Abu Arabi,
seorang penjual manisan di Al-Melh, seperti dikutip dari Xinhua, Minggu (16/6).
"Penjualan turun 80 persen tahun ini. Dahulu,
orang-orang datang ke sini dengan rencana besar untuk Idul Adha, membeli
manisan untuk seluruh keluarga. Kini, mereka hanya membeli sedikit,"
tambahnya.
Abu Arabi menunjuk pada pajangan kue kering dan cokelat yang melimpah, sangat berbanding terbalik dengan hiruk-pikuk pembelian menjelang Idul Adha pada tahun-tahun sebelumnya.
Dia menjelaskan bahwa kenaikan biaya
pengiriman jalur laut baru-baru ini telah meningkatkan harga grosir, dan
memaksanya untuk menaikkan harga jual.
Pengalaman Abu Arabi mencerminkan krisis ekonomi yang lebih
luas yang melanda Yaman. Melonjaknya biaya pengiriman melalui laut telah
menaikkan harga-harga di seluruh negara itu, bahkan membuat kebutuhan pokok
Idul Adha menjadi barang mewah bagi banyak orang.
"Semuanya terlalu mahal," ujar Um Khalid, seorang
pembeli yang sedang melihat-lihat di pasar itu.
"Dahulu, Idul Adha merupakan waktu bagi keluarga untuk
berkumpul dan merayakannya, namun sekarang terasa seperti beban,"
sambungnya.
Penderitaan para pemilik toko di Sanaa tidak hanya terjadi
di Al-Melh. Di toko-toko lain, rak-rak penuh dengan permen yang tidak terjual
dan dekorasi yang tidak laku. Semangat perayaan tampaknya telah meredup di
bawah beban kesulitan ekonomi.
Dalam upaya untuk meringankan beban keuangan, sebuah pameran
untuk keluarga produktif digelar di Taman al-Sabeen di kota itu. Di sana, para
keluarga memamerkan dan menjual barang-barang buatan mereka, menawarkan
secercah harapan dan kesempatan untuk mencari nafkah sebelum liburan Idul Adha.
"Saya menemukan banyak barang bagus di sini, seperti
pakaian, permen, dan kerajinan tangan," kata Muhsen Aatef, seorang
pengunjung pameran itu.
"Ini adalah cara yang baik untuk membantu keluarga
lokal dan menemukan barang-barang Idul Adha dengan harga yang lebih
murah," sambungnya.
Namun, inisiatif seperti itu hanya dapat memberikan sedikit
bantuan. Akar dari kemerosotan ekonomi Yaman sangat mendalam. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan kondisi yang suram itu dengan mengatakan bahwa
satu dasawarsa perang telah mendorong jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan.
Lebih dari 1,2 juta pegawai negeri sipil belum menerima gaji
selama delapan tahun, dan ratusan ribu lainnya kehilangan pekerjaan.
"Empat dari lima orang Yaman menghadapi kemiskinan, dan
separuh dari populasi negara itu - atau lebih dari 18 juta orang - sangat
membutuhkan bantuan kemanusiaan," menurut laporan terbaru dari Dewan
Pengungsi Norwegia.
"Idul Adha seharusnya menjadi momen bahagia semanis
permen yang saya jual," ujar Abu Arabi dengan sedih di dalam tokonya yang
kosong.
"Tetapi, saya rasa tidak ada permen di dunia ini yang
dapat mempermanis kehidupan di sini saat ini," tambahnya.
(xinhua/red)