Foto : Usai ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi impor gula, mantan Mendag Tom Lembong (berompi merah muda) langsung ditahan Kejagung. (Foto: Tangkapan layar YouTube Kejagung)
Jakarta - Mantan
Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan penetapan mantan Menteri Perdagangan (Mendag)
Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula
telah memenuhi dua unsur pidana.
Unsur pertama,
yakni soal aliran dana. Menurut Mahfud, delik korupsi dalam undang-undang tidak
cuma soal aliran dana, namun tercantum tentang memperkaya diri atau orang lain.
Dari situ kemudian, dapat dicari tau apakah kebijakan Tom memberika keuntungan
kepada pihak lain.
"Untuk
kasusnya sendiri yang masyarakat mengatakan itu Tom Lembong tidak ada korupsi
karena tidak ada aliran dana untuk yang masuk. Itu tidak bisa karena di dalam
hukum, korupsi bukan hanya adanya aliran dana, rumusnya memperkaya diri atau
orang lain," kata Mahfud, ujar Mahfud kepada awak media di Menara Bidakara
1, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2024).
Untuk diketahui,
berdasarkan penjelasaan Kejaksaan Agung, akibat kebijakan importasi gula yang
dikeluarkan Tom Lembong telah merugikan negara sebesar Rp400 miliar.
Mahfud
menjelaskan, dalam Pasal 2 UU Tipikor berlaku untuk setiap orang, termasuk
pihak swasta, yang melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi.
Serta, dalam Pasal 3 UU Tipikor, berlaku untuk setiap orang yang
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau
korporasi.
"Rumusnya
memperkaya diri atau memperkaya orang lain, termasuk perusahaan -perusahaan
yang diberi lisensi, kalau itu dapat keuntungan secara tidak wajar korupsi
unsur pertama terpenuhi," kata Mahfud.
Sementara unsur
kedua, dikatakan Mahfud yakni soal dugaan Tom Lembong menabrak aturan dalam
proses impor gula di Kemendag.
"Unsur kedua
dengan cara melanggar hukum, melanggar aturan yang sudah ditentukan dan tentu
lalu dihitung ke kerugian negara atas ini semua," kata Mahfud
Kejaksaan Agung
(Kejagung) menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak
pidana korupsi terkait impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016.
Dia menjadi tersangka bersama dengan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan
Perdagangan Indonesia Charles Sitorus, pada Selasa (29/10/2024) malam.
Penetapan
tersangka ini, merupakan hasil penyelidikan yang dinaikan ke tahap penyidikan,
menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses importasi gula kristal
mentah yang dilakukan selama Lembong menjabat.
Berikut rekam
jejak Thom Lembong dalam korupsi impor gula, sebagaimana diungkapkan a Kepala
Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar melalui
keterangannya kepada wartawan, Rabu (30/10/2024).
Jejak Impor Gula
Tom Lembong
Pada tahun 2015
berdasarkan Rapat Koordinasi (Rakor) antar Kementerian tanggal 12 Mei 2015,
telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak
membutuhkan impor gula. Namun, Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan saat itu
tetap mengeluarkan izin Persetujuan Impor (PI) untuk 105.000 ton Gula Kristal
Mentah (GKM) kepada PT Angel Product (PT AP), untuk diolah menjadi Gula Kristal
Putih (GKP).
Harli mengatakan,
saat itu Tom Lembong telah menabrak aturan dalam keputusan Menteri Perdagangan
dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, di mana yang diperbolehkan impor GKP
adalah BUMN.
"Tetapi
berdasarkan Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Tersangka TTL dilakukan
oleh PT AP dan Impor GKM tersebut tidak melalui
Rakor dengan instansi terkait,
serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui
kebutuhan gula dalam negeri," kata Harli.
Kemudian, pada
tanggal 28 Desember 2015, Rakor Bidang Perekonomian menyimpulkan bahwa stok
gula nasional diperkirakan mengalami defisit pada 2016 sebesar 200.000 ton.
Atas dasar ini, pada Januari 2016, Thom Lembong mengeluarkan Surat Penugasan
untuk PT PPI guna mengimpor 300.000 ton GKM dengan tujuan menstabilkan harga
dan memenuhi stok gula.
Atas arahan
Charles, PT PPI kemudian menjalin pertemuan dengan delapan perusahaan swasta
pengolah gula, yaitu, PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU), PT Andalan Furnindo
(AF), PT Angel Product (AP), PT Makassar Tene, PT Berkah Manis Makmur (BMM), PT
Sentra Usahatama Jaya (SUJ), PT Duta Segar Internasional (DSI), dan PT Medan
Sugar Industri (MSI) di Gedung Equity Tower SCBD sebanyak empat kali.
Kemudian, pada bulan
Januari 2016, Tersangka Thomas Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT
PPI dengan Surat Nomor 51 tanggal 12 Januari 2016, yang berisi penugasan kepada
PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula,
melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau
mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300.000 ton.
Selanjutnya, PT
PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta
ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT Kebun Tebu Mas (KTM), meskipun
seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor
adalah GKP secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN
(PT PPI).
Atas
sepengetahuan dan persetujuan Tom Lembong, dokumen Impor GKM ditandatangani
untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan
stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung.
Selain itu,
persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi
dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi
terkait.
Kedelapan
perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai
produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan,
minuman, dan farmasi. Setelah kedelapan perusahaan swasta tersebut mengimpor
dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut.
Dalam skema ini,
gula yang telah diolah oleh perusahaan swasta kemudian dijual ke pasar melalui
distributor dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi dari Harga
Eceran Tertinggi (HET) senilai Rp13.000 per kilogram. Ironisnya, gula tersebut
tidak dijual melalui operasi pasar. PT PPI pun mendapat fee dari setiap
kilogram gula yang diolah perusahaan swasta, senilai Rp105.
"Kerugian
negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai Rp400 miliar, yaitu nilai
keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi
milik negara/BUMN (PT PPI)," ungkap Harli.
Para Tersangka
disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang
RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(der/hin)