Foto : Kota Irlandia
Jakarta - Irlandia
kini berada dalam situasi yang mungkin terdengar aneh bagi banyak negara di
dunia, pemerintahnya kebanjiran uang dan tidak tahu harus berbuat apa dengan
semua dana tersebut.
The Economist melaporkan, di saat negara-negara lain di
Eropa, seperti Inggris dan Prancis berjuang dengan kenaikan pajak yang tajam,
serta Jerman terhambat oleh kebijakan penghematan utang, Irlandia justru
menikmati surplus anggaran yang mengesankan.
Dilansir melalui Financial Times, negara itu menghadapi
surplus anggaran hampir €9 miliar (Rp153,7 triliun) dan pertumbuhan ekonomi
yang lima kali lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal itu membuat Irlandia
berada dalam situasi yang tidak biasa bagi sebuah negara maju.
Baru-baru ini, Pengadilan Eropa memutuskan bahwa Apple harus
membayar €13 miliar sekitar $14 miliar atau Rp220,6 triliun kepada otoritas
pajak Irlandia, ditambah lebih dari €1 miliar (Rp17 triliun) bunga.
Jumlah ini setara dengan 4,8 persen dari pendapatan nasional
tahunan Irlandia. Keputusan ini membuat banyak pemerintah lain yang kekurangan
dana merasa bingung, terutama karena otoritas Irlandia justru mendukung Apple
dalam pertempurannya melawan pengadilan Eropa, dengan alasan bahwa perusahaan
tersebut tidak melakukan kesalahan.
“Ekonomi Irlandia sedang dalam kondisi yang sangat baik.
Pendapatan nasional bruto yang dimodifikasi, yang memperhitungkan distorsi
akibat banyaknya perusahaan multinasional di negara tersebut, diperkirakan akan
tumbuh sebesar 4,9 persen tahun ini dan 2,7 persen pada 2025,” tulis laporan
The Economist, seperti dikutip pada Senin (4/11/2024).
Media itu mencatat bahwa tingkat pengangguran di negara itu
hanya 4,3 persen, dan inflasi telah turun di bawah 2 persen. Sebelum
mendapatkan “angin segar” dari Apple, posisi fiskal Pemerintah Irlandia sudah
terlihat solid, dengan surplus anggaran yang diperkirakan mencapai 7,5 persen
dari pendapatan nasional tahun ini.
David McWilliams, seorang ekonom terkemuka Irlandia,
menjelaskan bahwa situasi ini adalah hasil dari kebijakan selama 20 hingga 30
tahun yang menjadikan Irlandia sebagai magnet bagi perusahaan multinasional,
terutama dari Amerika Serikat (AS). Dengan tarif pajak yang lebih rendah,
banyak perusahaan besar seperti Apple, Google, dan Meta memilih Irlandia
sebagai basis operasi mereka di Eropa. Namun, ini juga menciptakan
ketergantungan pada beberapa perusahaan besar, yang membuat basis pajak
Irlandia menjadi sempit.
Sejak tahun 1950-an, Irlandia telah menawarkan tarif pajak
perusahaan yang kompetitif untuk menarik perusahaan asing. Meskipun manfaat
kesejahteraan dipangkas dan pajak lainnya meningkat selama krisis Euro di awal
2010-an, pajak perusahaan tetap pada tingkat yang menguntungkan sebesar 12,5
persen. Strategi ini membuahkan hasil besar, dengan penerimaan pajak perusahaan
yang melonjak dari €7 miliar (Rp119,6 triliun) pada 2015 menjadi €24 miliar
(Rp410,1 triliun) pada tahun lalu, dan diperkirakan akan mencapai €30 miliar
(Rp512,6 triliun) per tahun pada akhir 2020-an.
Namun, para pembuat kebijakan Irlandia menyadari bahwa basis
pajak mereka sempit meskipun melimpah. Pada tahun 2022, hanya sepuluh
perusahaan yang menyumbang tiga per lima dari penerimaan pajak perusahaan.
Untuk mengatasi kerentanan ini, pemerintah Irlandia
berencana untuk mengelola limpahan dana dari Apple dengan cara yang mirip
dengan Norwegia yang mengelola pendapatan minyak Laut Utara, yakni mereka akan
mendirikan dana kekayaan negara. Dua dana terpisah sedang dibentuk, dengan
harapan nilai gabungannya akan mencapai €100 miliar (Rp1.700 triliun) pada
tahun 2040.
Dengan pemilihan umum yang dijadwalkan awal tahun depan,
pemerintah juga memiliki ruang untuk memberikan insentif. Dalam anggaran
terbaru, rumah tangga Irlandia akan menerima kredit energi sebesar €250 musim
dingin ini, manfaat anak juga dinaikkan, dan ambang pajak penghasilan ditingkatkan.
Investasi publik dalam infrastruktur juga ditingkatkan sebesar €3 miliar.
Namun, tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan
Irlandia adalah kurangnya ruang dalam ekonomi. Pasar tenaga kerja yang ketat
dan kemungkinan kenaikan inflasi akibat pengurangan pajak atau peningkatan
pengeluaran menjadi perhatian utama.
Dengan surplus yang besar, Irlandia menghadapi dilema unik,
yakni bagaimana mengelola kelebihan uang ini tanpa memicu inflasi atau
menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Sementara banyak negara berjuang untuk
menyeimbangkan anggaran mereka, Irlandia harus menemukan cara untuk
memanfaatkan surplus ini dengan bijak.
McWilliams menyoroti bahwa Irlandia memiliki infrastruktur
yang kurang memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonominya yang pesat.
“Irlandia adalah ekonomi dunia pertama dengan infrastruktur dunia ketiga,”
ujarnya.
Dengan harga perumahan yang melambung dan transportasi
publik yang kurang, ada kebutuhan mendesak untuk investasi dalam sektor-sektor
ini. Namun, pemerintah Irlandia juga ingin menjaga citra yang baik di mata
Eropa dan tidak ingin terlihat terlalu bergantung pada uang dari
perusahaan-perusahaan besar.
McWilliams menyarankan bahwa sebagian dari surplus ini bisa
digunakan untuk mendirikan dana start-up yang akan mendukung bisnis kecil,
sehingga menciptakan keseimbangan antara sektor publik, multinasional, dan
usaha kecil.
Dengan semua tantangan ini, Irlandia berada di persimpangan
jalan. Apakah negara ini akan mampu mengelola kelebihan uangnya dengan bijak,
atau akan terjebak dalam masalah yang lebih besar akibat pengelolaan yang
buruk.
(cnn/rd)