Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Noffendri Roestam saat konferensi pers di kantor PP IAI, Jakarta, Kamis (25/7)
Jakarta - Ketua
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Noffendri Roestam memberikan
klarifikasi terkait pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang
menyebut harga obat di Indonesia lima kali lebih mahal dibanding Malaysia.
Menkes Budi menyatakan bahwa salah satu penyebab tingginya
harga obat di Indonesia adalah tata kelola yang tidak baik. Menanggapi hal
tersebut, Noffendri menegaskan bahwa tidak semua jenis obat di Indonesia masuk
dalam kategori mahal.
Menurut Noffendri, terdapat tiga jenis obat yang beredar di
Indonesia: obat originator (paten), obat generik bermerk, dan obat generik
biasa. Obat yang dibanderol dengan harga mahal biasanya adalah obat originator
atau obat paten, yang merupakan obat impor dan telah memiliki hak paten secara
global.
"Obat originator hanya digunakan sekitar 10 persen dari
total penduduk Indonesia. Sementara 90 persennya menggunakan obat generik
bermerk dan generik biasa, yang diproduksi di dalam negeri," ujar Noffendri
dalam konferensi pers di kantor PP IAI, Jakarta, Kamis (25/7).
Berbeda dengan Malaysia, mayoritas penduduknya menggunakan
obat paten yang telah bekerja sama dengan pemerintah pusat mereka. Penelusuran
IAI bersama Malaysia Pharmaceutical Society (MPS) menunjukkan bahwa permintaan
obat originator di Malaysia rata-rata 2-3 kali lebih besar secara volume
dibandingkan dengan di Indonesia. Perbedaan volume ini mempengaruhi penetapan
harga obat di kedua negara.
"Sebenarnya, masyarakat Indonesia tetap memiliki akses
obat yang terjangkau karena ketersediaan obat generik dengan harga murah di
Indonesia. Setelah kami bandingkan, harga obat generik bermerek di Indonesia
jauh lebih murah dibandingkan dengan di Malaysia," tegas Noffendri.
Lebih lanjut, Noffendri menekankan bahwa obat generik
bermerek atau generik biasa yang diproduksi di Indonesia memiliki kualitas
setara dengan obat originator. Hal ini dikarenakan pembuatan obat mengikuti
standar internasional (GMP atau CPOB) dan telah diperiksa oleh BPOM.
"Salah satu syarat izin edar adalah uji bioekivalensi,
yang menunjukkan bahwa jumlah obat yang terserap dan terbuang dalam tubuh sama
persis dengan obat originator, sehingga diharapkan memiliki efek farmakologi
yang sama," jelasnya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia memiliki akses
terhadap obat berkualitas dengan harga terjangkau dan kebebasan memilih
pengobatan sesuai dengan kemampuan ekonominya," pungkas Noffendri.
(hen/hen)