Seorang pensiunan jenderal IDF menyebut taktik perang tentara Israel di Gaza saat ini asal-asalan dan tak punya tujuan jelas. (Foto: Dokumentasi IDF/Jewish News Syndicate)
Tel aviv - Pensiunan
jenderal militer Israel, Itzhak Brik, menyebut Perdana Menteri Benjamin
Netanyahu dan bawahannya di Kabinet Perang tidak becus memimpin perang di Jalur
Gaza, Palestina.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Maariv, Brik menulis
Netanyahu, Menteri Pertahanan Yoav Gallant, serta Kepala Staf Herzi Halevi
mesti mengundurkan diri dan dikirim ke penjara.
Menurut Brik, taktik perang tentara Israel saat ini
asal-asalan dan tak punya tujuan jelas. Ia menilai hal ini berbeda dengan
strategi perang militer yang sukses dilakukan pada masanya.
"Setiap hari, tentara kita terbunuh ketika mereka
memasuki rumah-rumah yang terkepung tanpa disiplin operasional, tanpa prosedur
dasar, tanpa ilmu, tanpa kontrol dan pemantauan dari komandan senior, dan tanpa
melakukan latihan dasar sebelum memasuki gedung, seperti menembakkan tank atau
peluru artileri dan mengirim pesawat, tanpa drone atau anjing polisi untuk
memeriksa gedung, " ujar Brik seperti dikutip Middle East Monitor, Jumat
(14/6).
Ia mengatakan tentara pendudukan Israel mestinya tidak
menyerang Hamas seperti itu. Israel harusnya menyerang dengan 'gaya gerilya'
dan menghindari pertempuran tatap muka.
"Itu karena Hamas bertempur dengan memasang perangkap,
meledakkan bangunan, meluncurkan roket, dan bersembunyi di bukaan terowongan,
sehingga menyebabkan kerugian besar bagi tentara Israel," papar Brik.
Karena taktik yang tak beraturan ini, jumlah tentara dan
perwira Israel yang tewas sejak awal perang pun terus bertambah. Saat ini ada
650 prajurit yang tewas, dengan 298 di antaranya meninggal dunia sejak serangan
darat diluncurkan akhir Oktober lalu.
Sejak agresi Israel diluncurkan 7 Oktober lalu, Brik telah
mengkritik kepemimpinan militer dan politik di Israel. Ia menilai Netanyahu dan
militer gagal dalam memimpin perang. Padahal, para prajurit kembali ke
wilayah-wilayah yang pernah ia duduki saat masih berada di militer.
"Sudah lama sejak pasukan kami kembali dan berulang
kali menyerang tempat-tempat yang telah kami duduki di Jalur Gaza. Kurangnya
kekuatan tidak memungkinkan kami untuk tinggal lama di Gaza, dan dalam setiap
serangan kami membayar harga yang sangat mahal dalam hal kematian dan
cedera," katanya.
(mem/jns)