Jakarta -
Rupiah ditutup melemah 105 poin ke level Rp16.265 pada perdagangan Kamis, 30
Mei 2024 menyusul serangan Israel ke Arafah.
Pengamat
Pasar Uang dan Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi
mengatakan rupiah lebih banyak ditekan sentimen eksternal. Sebagian besar
pedagang tetap bias terhadap greenback akibat serangkaian sinyal hawkish dari
Federal Reserve, karena para pejabat memperingatkan bahwa mereka memerlukan
lebih banyak keyakinan bahwa inflasi sedang mereda.
Beberapa
pejabat juga menandai kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut, jika
inflasi tetap stabil. Sementara revisi data produk domestik bruto (PDB) kuartal
pertama akan dirilis pada hari Kamis, dan diperkirakan akan menunjukkan
ketahanan ekonomi AS yang berkelanjutan. Kekuatan perekonomian memberi The Fed
lebih banyak ruang untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.
"Namun
fokus utama minggu ini adalah data indeks harga PCE, yang merupakan ukuran
inflasi pilihan The Fed. Data tersebut diperkirakan akan menunjukkan inflasi
yang tetap stabil hingga bulan April yang akan dirilis pada hari Jumat.
Beberapa pejabat Fed juga akan menyampaikan pidatonya dalam beberapa hari
mendatang," ujarnya dikutip Kamis (30/5/2024).
Selain itu,
tensi geopolitik di Timur Tengah terus
meningkat paska pasukan Israel menguasai zona penyangga di sepanjang perbatasan
antara Jalur Gaza dan Mesir. Dengan demikian, Israel memiliki otoritas efektif
atas seluruh perbatasan darat wilayah Palestina.
Israel juga
terus melakukan serangan mematikan di Rafah, meskipun ada perintah dari
Mahkamah Internasional untuk mengakhirinya. Rafah merupakan tempat setengah
dari 2,3 juta penduduk Gaza sebelumnya mengungsi.
Sentimen Internal
Dari sisi
internal, pasar juga merespon negatif terhadap posisi utang pemerintah pada
April 2024 mencapai Rp8.338,43 triliun atau setara dengan 38,64% dari produk
domestik bruto (PDB) Indonesia. Posisi utang tersebut meningkat dibandingkan
dengan posisi pada bulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp8.262,10 triliun
atau setara dengan 38,79% dari PDB.
Berdasarkan
Buku APBN Kita Edisi Mei 2024, dijelaskan bahwa mayoritas utang pemerintah
berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,18%, sejalan dengan kebijakan umum
pembiayaan utang yang mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan
memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.
Berdasarkan
instrumennya, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa Surat Berharga
Negara (SBN) yang mencapai 87,94%. Jika dirincikan, per akhir April 2024,
lembaga keuangan memegang sekitar 43,3% kepemilikan SBN domestik, terdiri dari
perbankan 24,5% dan perusahaan asuransi dan dana pensiun sebesar 18,8%.
Lebih
lanjut, kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia sekitar 21,3% yang antara
lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter. Sementara itu, asing
tercatat hanya memiliki SBN domestik sekitar 13,8% termasuk kepemilikan oleh
pemerintah dan bank sentral asing.
Oleh karena
itu, pemerintah menyatakan tetap konsisten mengelola utang secara cermat dan
terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh
tempo yang optimal. Sedangkan rasio utang pemerintah hingga April 2024 yang
mencapaai 38,64% masih terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU No.
17/2003 tentang Keuangan Negara.
Stabilisasi Rupiah
Menurut
Ibrahim, selain melakukan intervensi ke pasar Domestic Non Deliverable Forward/
DNDF terutama di valas dan obligasi, BI masih memiliki ruang untuk melakukan
pengetatan suku bunga acuan 50 basis poin lagi menjadi 6,75% dari saat ini
6,25%. Hal ini guna meredam volatilitas nilai tukar dan stabilisasi rupiah.
"Karena
target BI untuk suku bunga tinggi adalah 6,75 persen. BI masih ada waktu untuk
menaikkan suku bunga di pertemuan bulan Juni 25 basis poin," ujarnya.
(Yst/red)