Foto : Donald Trump (Foto: Alex Wong/Getty Images)
Washington - Para
ahli memperingatkan potensi pemerintahan Donald Trump mendatang tergelincirnya
ke arah otoritarianisme. Ia telah berjanji menindak tegas para pengkritik dan
memberlakukan kebijakan garis keras bahkan mengusulkan penggunaan militer
Amerika Serikat untuk melawan ‘musuh dari dalam’.
Trump juga mengancam akan mengadili para pengacara,
Demokrat, dan pihak lain yang dituduhnya melakukan kecurangan pemilu, dan
berjanji akan melaksanakan “operasi deportasi terbesar” terhadap imigran gelap
dalam sejarah AS. Saat kembali ke Gedung Putih, dia juga mengatakan akan
menjadi diktator pada hari pertamanya.
Kini, Donald Trump telah memperoleh 270 suara Electoral
College yang ia butuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan, menurut
Associated Press. Para ahli telah memperingatkan bahwa Trump sedang bersiap
untuk memimpin pemerintahan otoriter yang penuh dengan loyalis yang berniat
untuk ‘balas dendam’.
Rina Shah, seorang ahli strategi politik dan mantan asisten
senior bagi legislator Partai Republik mengungkapkan, Trump akan menumpuk
pemerintahan dengan para loyalis dan tidak akan ada pemerintahan koalisi.
"Ini akan menjadi ajang balas dendam terhadap Demokrat,"
tambahnya, mengutip laporan Al Jazeera. "Ini akan menjadi pengulangan yang
menakutkan dari cabang eksekutif, lebih menakutkan daripada yang kita lihat.
Dia ingin menulis ulang aturan. Dia sudah memberi tahu kita."
Janji Kampanye
Trump berkuasa pada 2016 di tengah gelombang kemarahan
publik. Janjinya untuk ‘menguras rawa’ para politisi dan ‘elit’ lain di
Washington, DC, mendapat dukungan dari sebagian besar penduduk yang kecewa
dengan birokrasi pemerintah ketika itu.
Pidatonya yang berapi-api dan serangannya terhadap para
pesaingnya baik di dalam maupun di luar partainya terus berlanjut selama
masa jabatannya, yang membuatnya mendorong berbagai kebijakan kontroversial.
Dari 2017 hingga 2021, pemerintahan Trump ditandai
serangkaian tindakan garis keras khususnya terkait imigrasi dan kebijakan
luar negeri yang sering kali memasuki wilayah hukum tidak jelas atau
dibatalkan pengadilan. Ia menepati beberapa janji kampanyenya, termasuk menarik
diri dari Perjanjian Iklim Paris, memberlakukan apa yang disebut ‘larangan
Muslim’, dan menaikkan tarif impor.
Namun, ia gagal memenuhi janji-janji lainnya. Misalnya, ia
tidak pernah berhasil menyelesaikan pembangunan tembok perbatasan selatan dan
membuat Meksiko membayarnya. Perhitungan janji kampanye Trump pada 2016 oleh
PolitiFact, organisasi pemeriksa fakta yang dijalankan Poynter Institute,
menunjukkan bahwa, dari 100 janji yang dibuat, mantan presiden itu mengingkari
lebih dari setengahnya.
Namun, retorika Trump terus berlanjut setelah tahun 2020,
ketika ia gagal memenangkan pemilihan ulang, dan mencapai puncaknya selama
kampanye tahun 2024 untuk kembali ke Gedung Putih. Ia menyasar para migran,
Demokrat, wartawan, jaksa, hakim, dan siapa pun yang tidak setuju dengannya.
Geoffrey Kabaservice, wakil presiden studi politik di
Niskanen Center, lembaga pemikir kanan-tengah di Washington, DC, mengatakan
para pendukung Trump berharap dia akan menggunakan masa jabatan keduanya untuk
melampaui apa yang dia lakukan pertama kali.
“Itu bisa berarti melaksanakan janjinya untuk mendeportasi
jutaan imigran gelap dari negara itu, menjadikan Departemen Kehakiman sebagai
senjata, atau memecat puluhan ribu pegawai negeri,” kata Kabaservice.
Ada kemungkinan Trump mencoba melaksanakan beberapa
tujuannya yang kontroversial. Namun tujuannya juga dapat digagalkan oleh
pengadilan, oleh negara yang berkuasa, oleh reaksi publik, atau mungkin karena
ketidakmampuan pemerintahannya.
Kabaservice mengatakan kepada Al Jazeera beberapa kritikus
khawatir bahwa “jika Trump mendatangkan orang-orang yang benar-benar percaya
padanya, maka mereka akan menjadi kaum radikal, dan ia tidak akan terkekang
oleh berbagai hambatan yang pernah ia alami pada masa jabatan pertamanya.”
Ada faktor kunci lain yang akan menentukan apa yang
dilakukan Trump sebagai presiden yakni susunan Kongres AS. Erica Frantz,
seorang profesor madya ilmu politik di Michigan State University yang
mempelajari otoritarianisme, menjelaskan bahwa badan legislatif biasanya dapat
bertindak sebagai benteng melawan pemimpin yang kuat.
Ia mencontohkan kasus Argentina, di mana upaya Presiden
sayap kanan Javier Milei untuk meneruskan kebijakan kontroversialnya sebagian
besar ditolak karena ia tidak memiliki dukungan legislatif.
Namun jika Partai Republik berhasil menguasai DPR dan Senat
AS dengan Trump di Gedung Putih, mantan presiden tersebut akan dapat lolos
dengan kebijakan apa pun yang dipilihnya. "Pintu pada dasarnya akan
terbuka lebar untuk tergelincir ke arah otoritarianisme," kata Frantz
kepada Al Jazeera.
Frantz mengatakan “perebutan kekuasaan secara otoriter”
biasanya melibatkan beberapa elemen, seperti pembersihan orang-orang yang tidak
loyal terhadap pemerintah dari sistem birokrasi negara, campur tangan terhadap
pengadilan, dan pembatasan terhadap kemampuan media untuk melaporkan sesuatu.
"Dan pada akhirnya – dan ini sudah mulai mendapat
perhatian – kita akan melihat campur tangan terhadap integritas
elektoral," jelas Frantz. Upaya tersebut dapat mencakup pencabutan hak
pilih pemilih dan mempolitisasi cara pemilihan umum dijalankan.
Transformasi Partai Republik menjadi apa yang Frantz
gambarkan sebagai partai “personalis” – yang berpusat pada individu – juga
berarti bahwa Trump tidak akan menghadapi penolakan apa pun dari partainya
sendiri.
Kaukus Partai Republik telah berkembang menjadi "sangat
identik dengan Trump", katanya, seraya mencatat bahwa para pengkritik
mantan presiden tersebut telah disingkirkan dari jajaran partai atau memilih
mengikuti jejaknya.
"Banyak hal yang terjadi ketika Anda melihat pemimpin
berkuasa dengan dukungan dari partai-partai yang lemah dan dangkal yang lebih
berfokus pada individu daripada kebijakan," kata Frantz.