Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo.(ist)
Jakarta - Nasib
industri garmen, tekstil dan alas kaki benar-benar di ujung tanduk. Permintaan
anjlok dampak rendahnya daya beli masyarakat. Pilihan pahit harus mereka
tempuh.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo
mengatakan, sebanyak 28 perusahaan garmen, tekstil dan alas kaki, terpaksa
mengurangi jam dan hari kerja. Hal itu diketahui dari komunikasi BPJS
Ketenagakerjaan dengan 57 perusahaan garmen, tekstil, dan alas kaki.
Ada tiga poin yang dibicarakan, lanjut Anggoro, terkait
kondisi perusahaan, permasalahan serta solusinya. Diketahui, separuh dari 57
perusahaan tadi, mengeluhkan lesunya pesanan.
"Paling tidak 53 persen dari perusahaan mengalami
penurunan pesanan. Sehingga, dampaknya pengurangan jam kerja dan hari kerja.
Jadi dampaknya efisiensi. Lebih dari separuh menyampaikan hal tersebut,"
jelas Anggoro dalam rapat dengan Komisi IX DPR , Jakarta, Selasa (2/7).
Anggoro menyampaikan, sebesar 43 persen dari 57 perusahaan
garmen, tekstil dan alas kaki, mengalami peningkatan pesanan. Sementara 4,17
persen lainnya masih dalam pemulihan pascapandemi COVID-19.
Sebanyak 57 perusahaan tadi, lanjut Anggoro, mengharapkan
adanya kebijakan dari pemerintah yang mendukung masalah ini. Agar industri ini
tetap bisa bertahan di masa depan. "Hasil yang kami gali sebagai mitra,
mereka punya lima aspirasi. Mereka menyampaikan untuk bisa survive," ucap
Anggoro.
Kelima aspirasi yang diinginkan industri garmen, tekstil dan
alas kaki, terkait kemudahan perizinan bagi investor agar tidak kalah saing
dengan negara lainnya. Kedua, penyerapan upah minimum yang tidak membebani
finansial perusahaan.
"Ketiga, ketersediaan bahan baku dalam negeri yang
mudah dan murah. Keempat, peningkatan dan pelatihan kemampuan pekerja. Kelima,
insentif pajak," paparnya.
(sur/her)