Dushambe - Tajikistan
baru saja mengesahkan undang-undang larangan penggunaan hijab. Parlemen negara
berpenduduk mayoritas Muslim itu mengadopsi rancangan undang-undang (RUU)
tentang 'tradisi dan perayaan'.
UU itu melarang penggunaan, mengimpor, menjual, dan
memasarkan 'pakaian asing bagi budaya Tajik'. Mayoritas pejabat dan publik
menggambarkan larangan itu ditujukan terhadap pakaian khas Muslim. UU itu juga
mencakup sanksi administratif dan denda bagi para pelanggarnya.
Salah satu alasan pemerintah melarang penggunaan hijab dan
atribut keagamaan lainnya adalah 'demi melindungi nilai-nilai budaya nasional'
dan 'mencegah takhayul serta ekstremisme'.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tajikistan memang terus
memperketat larangan memakai pakaian dan atribut keagamaan, terutama pakaian
Muslim, di sekolah-sekolah dan tempat kerja.
Dengan UU ini, Tajikistan dilaporkan akan memperluas
larangan penggunaan hijab hingga di tempat publik. Dalam aturan baru ini, warga
juga dianjurkan untuk semakin sering memakai pakaian nasional Tajikistan.
Dikutip Euro News, Selasa (25/6), mereka yang melanggar
undang-undang ini akan didenda mulai dari 7.920 somoni atau sekitar Rp12,1 juta
untuk warga biasa, sekitar 54 ribu somoni (Rp82,6 juta), dan 57.600 somoni
(Rp88,1 juta) bagi para tokoh agama.
Undang-Undang ini juga melarang tradisi umat Muslim
Tajikistan 'iydgardak' yang berlangsung saat Hari Raya Idul Fitri. Iydgardak
adalah tradisi ketika anak-anak mengunjungi rumah-rumah dan mendapatkan uang
saku.
Pengesahan UU ini mengejutkan dunia internasional lantaran
mayoritas penduduk Tajikistan adalah Muslim. Berdasarkan data sensus 2020,
sekitar 96 persen dari total 10,3 juta penduduk Tajikistan merupakan umat
Muslim.
Selama ini, pemerintahan Presiden Emomali Rahmon memang
berupaya menerapkan paham sekuler dan mengesampingkan praktik keagamaan dalam
politik dan sosial Tajikistan.
(eurn/reut)