Notification

×

Iklan

Iklan

Jargon AKHLAK Tak Cukup, Kasus Korupsi Masih Menyusupi BUMN

Rabu, 05 Juni 2024 | Juni 05, 2024 WIB Last Updated 2024-06-06T02:54:52Z

 

Sejumlah tamu beraktivitas di dekat logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta.



Jakarta - Kasus korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak pernah absen. Perilaku tidak terpuji itu, ibarat budaya turun menurun sulit dihilangkan. Karena faktanya, sepanjang periode 2016-2021 saja, kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka.

 

Dari hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara yang ditimbulkan, sepanjang periode 2016 hingga 2021, mencapai Rp47,92 triliun. Turut ditemukan juga nilai suap hingga Rp106,9 miliar dan nilai tindak pidana pencucian uang sebesar Rp57,86 miliar.

 

Tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung bahkan baru-baru ini tengah membuka kembali kasus korupsi di PT Antam.

 

Dugaan korupsi itu sendiri terjadi sejak 2010 hingga 2021. Dalam kasus Antam, penyidik menetapkan General Manager (GM) UBPP LM PT Antam Tbk, yakni inisial TK (GM periode 2010-201), HN (GM periode 2011-2013), DM (GM periode 2013-2017), AH (GM periode 2017-2019), MAA (GM periode 2019-2021), dan ID (GM periode 2021-2022) sebagai tersangka.

 

Dalam kasus itu, penyidik masih menunggu penghitungan kerugian negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tak bisa dipungkiri, penghitungan kerugian negara atas kasus emas memang membutuhkan waktu yang tak sebentar karena menyesuaikan harga standar internasional.

 

Bukan cuma Antam, BUMN seperti Asabri, Jiwasraya, dan Taspen juga pernah terseret kasus korupsi. Bahkan, belum lama juga menyerat BUMN Karya.

 

BUMN Karya terlibat dalam pusaran kasus korupsi pembangunan Jalan Tol MBZ Japek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat.

 

Para terdakwa yakni Direktur Utama PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) periode 2016—2020, Djoko Dwijono, Ketua Panitia Lelang JJC, Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama Tbk. (BUKK), Sofia Balfas, serta tenaga ahli jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Toni Budianto Sihite.

 

Mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

“Menghilangkan korupsi dari BUMN ini pekerjaan berat,” ujar Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus, kepada Tirto, Rabu (5/6).

 

Yunus mengatakan, sudah hampir selama 32 tahun orde baru perilaku korupsi di tubuh BUMN sulit untuk ditinggalkan. Ditambah dengan proses rekruitmen pimpinan BUMN yang tidak transparan, upaya politisasi BUMN di tengah demokrasi yang high cost, ekosistem bisnis yang korup, dan kinerja pengawasan dari kementerian yang sangat lemah membuat BUMN kita susah dilepaskan dari korupsi.

 

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), ZaenurRohman, mengatakan, banyaknya kasus korupsi di tubuh Perseroan menunjukkan tata kelola yang buruk di BUMN. Artinya, perusahaan plat merah itu tidak menjalankan tata kelola perusahaan yang baik.

 

"Jelas tata kelola di BUMN ini sangat buruk. Tidak ter-lembaganya prinsip-prinsip korporasi yang baik, tata kelola korporasi yang baik," ujar Zaenur.

 

Dia menilai praktik-praktik korporasi yang buruk itu, sudah berlangsung bertahun-tahun sudah membudaya. Maka, tidak heran sekalipun terjadi pergantian pemerintahan, pergantian menteri BUMN, pergantian direksi, tidak menghilangkan akar masalah dari korupsinya.

 

Selain itu, akar masalah korupsi di tubuh BUMN problem utamanya adalah soal kepemilikan. Zaenur melihat jika di swasta, kepemilikan perusahaan itu ada di orang. Baik itu merupakan perusahaan tertutup atau di perusahaan terbuka. Sedangkan kalau di BUMN itu dimiliki oleh negara, melalui pemerintah.

 

Dia mencontohkan, jika perusahaan swasta itu ada komisarisnya, itu benar-benar menjalankan fungsi pengawasan. Kenapa? Karena itu adalah uang mereka, bisnis mereka, ataupun orang yang mempekerjakan mereka. Sedangkan kalau dalam konteks BUMN itu kan uang negara dan publik. Tapi minim pengawasannya.

 

"Jadi beda antara swasta dan BUMN dari rasa memilikinya," ungkap Zaenur.

 

Masalah lainnya, kata Zaenur BUMN ada problem menjadi sapi perah politik. BUMN ini tidak dikelola dengan baik karena justru dijadikan sebagai projects untuk penempatan orang-orang politik di BUMN. Atau bahkan BUMN-nya sendiri digunakan sebagai alat-alat politik maupun untuk pendanaan politik.

 

"Itu sehingga kemudian BUMN-nya semakin susah untuk dapat sehat, menjalankan bisnis, memperoleh keuntungan, dan juga memberikan pelayanan publik," kata Zaenur.

 

Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menambahkan persoalan utama korupsi di BUMN justru terletak pada moralitas dan tata kelola, yang sampai saat ini masih terjebak pada jargon. Selama ini jargon AKHLAK (Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) hanya sebatas kertas kewajiban saja.

 

"Persoalan korupsi di BUMN ini tentu bukan soal gaji, karena yang diterima bisa lebih besar dari perusahaan swasta," kata Herry kepada detik.


(ren/ren)

 


×
Berita Terbaru Update