Sejumlah tamu beraktivitas di dekat logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta.
Jakarta - Kasus korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak pernah absen. Perilaku tidak terpuji itu, ibarat budaya turun menurun sulit dihilangkan. Karena faktanya, sepanjang periode 2016-2021 saja, kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka.
Dari hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW),
kerugian negara yang ditimbulkan, sepanjang periode 2016 hingga 2021, mencapai
Rp47,92 triliun. Turut ditemukan juga nilai suap hingga Rp106,9 miliar dan
nilai tindak pidana pencucian uang sebesar Rp57,86 miliar.
Tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus)
Kejaksaan Agung bahkan baru-baru ini tengah membuka kembali kasus korupsi di PT
Antam.
Dugaan korupsi itu sendiri terjadi sejak 2010 hingga 2021.
Dalam kasus Antam, penyidik menetapkan General Manager (GM) UBPP LM PT Antam
Tbk, yakni inisial TK (GM periode 2010-201), HN (GM periode 2011-2013), DM (GM
periode 2013-2017), AH (GM periode 2017-2019), MAA (GM periode 2019-2021), dan
ID (GM periode 2021-2022) sebagai tersangka.
Dalam kasus itu, penyidik masih menunggu penghitungan
kerugian negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tak bisa
dipungkiri, penghitungan kerugian negara atas kasus emas memang membutuhkan
waktu yang tak sebentar karena menyesuaikan harga standar internasional.
Bukan cuma Antam, BUMN seperti Asabri, Jiwasraya, dan Taspen
juga pernah terseret kasus korupsi. Bahkan, belum lama juga menyerat BUMN
Karya.
BUMN Karya terlibat dalam pusaran kasus korupsi pembangunan
Jalan Tol MBZ Japek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat.
Para terdakwa yakni Direktur Utama PT Jasamarga Jalan layang
Cikampek (JJC) periode 2016—2020, Djoko Dwijono, Ketua Panitia Lelang JJC, Yudhi
Mahyudin, Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama Tbk. (BUKK), Sofia
Balfas, serta tenaga ahli jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Toni
Budianto Sihite.
Mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Menghilangkan korupsi dari BUMN ini pekerjaan berat,” ujar
Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus, kepada Tirto, Rabu
(5/6).
Yunus mengatakan, sudah hampir selama 32 tahun orde baru
perilaku korupsi di tubuh BUMN sulit untuk ditinggalkan. Ditambah dengan proses
rekruitmen pimpinan BUMN yang tidak transparan, upaya politisasi BUMN di tengah
demokrasi yang high cost, ekosistem bisnis yang korup, dan kinerja pengawasan
dari kementerian yang sangat lemah membuat BUMN kita susah dilepaskan dari
korupsi.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM), ZaenurRohman, mengatakan, banyaknya kasus
korupsi di tubuh Perseroan menunjukkan tata kelola yang buruk di BUMN. Artinya,
perusahaan plat merah itu tidak menjalankan tata kelola perusahaan yang baik.
"Jelas tata kelola di BUMN ini sangat buruk. Tidak
ter-lembaganya prinsip-prinsip korporasi yang baik, tata kelola korporasi yang
baik," ujar Zaenur.
Dia menilai praktik-praktik korporasi yang buruk itu, sudah
berlangsung bertahun-tahun sudah membudaya. Maka, tidak heran sekalipun terjadi
pergantian pemerintahan, pergantian menteri BUMN, pergantian direksi, tidak
menghilangkan akar masalah dari korupsinya.
Selain itu, akar masalah korupsi di tubuh BUMN problem
utamanya adalah soal kepemilikan. Zaenur melihat jika di swasta, kepemilikan
perusahaan itu ada di orang. Baik itu merupakan perusahaan tertutup atau di
perusahaan terbuka. Sedangkan kalau di BUMN itu dimiliki oleh negara, melalui
pemerintah.
Dia mencontohkan, jika perusahaan swasta itu ada
komisarisnya, itu benar-benar menjalankan fungsi pengawasan. Kenapa? Karena itu
adalah uang mereka, bisnis mereka, ataupun orang yang mempekerjakan mereka.
Sedangkan kalau dalam konteks BUMN itu kan uang negara dan publik. Tapi minim
pengawasannya.
"Jadi beda antara swasta dan BUMN dari rasa
memilikinya," ungkap Zaenur.
Masalah lainnya, kata Zaenur BUMN ada problem menjadi sapi
perah politik. BUMN ini tidak dikelola dengan baik karena justru dijadikan
sebagai projects untuk penempatan orang-orang politik di BUMN. Atau bahkan
BUMN-nya sendiri digunakan sebagai alat-alat politik maupun untuk pendanaan
politik.
"Itu sehingga kemudian BUMN-nya semakin susah untuk
dapat sehat, menjalankan bisnis, memperoleh keuntungan, dan juga memberikan
pelayanan publik," kata Zaenur.
Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menambahkan persoalan utama
korupsi di BUMN justru terletak pada moralitas dan tata kelola, yang sampai
saat ini masih terjebak pada jargon. Selama ini jargon AKHLAK (Akuntabel,
Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) hanya sebatas kertas kewajiban
saja.
"Persoalan korupsi di BUMN ini tentu bukan soal gaji, karena yang diterima bisa lebih besar dari perusahaan swasta," kata Herry kepada detik.
(ren/ren)