Notification

×

Iklan

Iklan

Jangan Sampai Dugaan Pelanggaran Pemilu Berulang di Pilkada

Selasa, 04 Juni 2024 | Juni 04, 2024 WIB Last Updated 2024-06-05T19:00:38Z

 

Ilustrasi Pilkada 2024.



Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penjaga pintu terakhir demokrasi. Sifat putusannya final dan binding sehingga tidak memungkinkan adanya upaya hukum lainnya.

 

Pada 24 April 2024, putusan MK yang memutus sidang sengketa Pilpres 2024 memutuskan menolak keseluruhan gugatan yang diajukan oleh pemohon yang merupakan kandidat pilpres 01 dan 02.

 

Menariknya, dari 9 hakim yang menyidangkan, 3 hakim menyatakan tidak sependapat dan membacakan dissenting opinion.

 

“Ini menarik meskipun putusannya ditolak keseluruhan, karena putusannya final dan binding maka semua pihak harus menerima. Ini mekanisme konstitusional satu-satunya. Namun ada poin-poin penting yang disampaikan di dissenting opinion,” ujar pengamat politik Universitas Padjadjaran Firman Manan. Rabu(5/6)

 

Menurut Firman, salah satu pendapat hakim Saldi Isra yang digarisbawahi terkait keadilan substantif yang seharusnya disoroti.

 

Firman mengaku sependapat dengan Saldi yang menyebut evaluasi terhadap pemilu juga dijadikan pijakan untuk pilkada.

 

“Jangan sampai catatan dan dugaan pelanggaran, yang terjadi di pemilu berulang di pilkada,” ucapnya.

 

Hal lain yang disoroti Saldi berkaitan dengan dua variabel nonelektoral yakni bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparatur sipil negara yang bisa memberikan pengaruh signifikan dalam pemilu.

 

Dikatakan Saldi, di masa Orde Baru sekalipun pemilu dilaksanakan benar secara prosedural. Tapi tidak, jika bicara substansial. MK sendiri sebetulnya memiliki kewenangan memeriksa perkara terkait prosesnya tidak hanya angka.

 

“Karena putusan MK ini akan memberikan legitimasi pemilu ini berintegritas atau tidak. Putusan tidak berkutat di angka,” ujar Firman.

 

Firman mencontohkan dalam demokrasi itu bicara tentang equal treatment, di mana para peserta memiliki kesetaraan kesempatan. Posisi peserta harus berada di level yang sama.


 Demikian pula pemilih yang harus memiliki hak bebas berpartisipasi. Publik, kata Firman tidak boleh diintimidasi dengan guyuran program pemerintah dan mobilisasi sehingga mereka tidak lagi bebas memilih.

 

“Pemilu jujur dan adil tidak hanya slogan. MK memastikan itu terlaksana dengan benar sehingga pemeriksaan di MK memang harus di area substantif,” katanya.

 

 Ditambah lagi waktu yang pendek seakan-akan membelenggu hakim MK. Mereka, kata Firman, seolah-olah terpaksa mengalah pada hal-hal prosedural dengan alasan waktu yang tidak cukup untuk pembuktian. Hal lain disoroti Firman, terkait kinerja penyelenggara yang harus independen, imparsial, dan proaktif. Yang terjadi di pusat, lanjut Firman, tidak boleh lagi terjadi di pilkada.

 

“KPUD dan Bawaslu harus mampu menunjukkan kinerja yang lebih lagi saat pilkada,” katanya.

 

Firman mengatakan putusan MK ini tidak akan mengubah banyak peta politik di Indonesia. Namun di perspektif elite, sejatinya, partai pendukung 01 dan 03, tetap menjadi oposisi. Namun berkaca pada pengalaman sebelumnya, Firman mengaku pesimis.

 

“Satu sisi pemerintah terpilih akan berupaya menarik ke dalam kubu yang sama. Hal itu untuk mendapatkan dukungan di parlemen. Seperti kelaziman sebelumnya, yang seharusnya oposisi tetap merapat,” katanya.

 

Dikatakan Firman, koalisi pendukung pemerintah juga penting, tapi sebaiknya tidak terlalu gemuk. Ia menyebut di angka 50-60 persen sehingga tidak perlu mengajak semua parpol bergabung dalam koalisi. Karena dampaknya, fungsi kontrol parlemen tidak akan berjalan.

 

Apalagi, menurut Firman, parpol di Indonesia memiliki karakter yang pragmatis. Mereka menjadi bagian koalisi pendukung bukan dengan pendekatan program, tapi mengharapkan jatah jabatan. Sementara di akar rumput, kata Firman, tetap akan ada kelompok yang tidak puas. 


Selain itu akan tetap ada suara kritis dari akademisi yang menjadi kontrol terhadap pemerintahan terpilih agar tetap berada di rel. Selain itu, ada catatan penurunan angka demokrasi yang menjadi alasan kuat mengawal demokrasi oleh akademisi. 


Senada dengan Firman, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Muhammad Nur Ramadhan mengatakan putusan MK itu hanya menunjukkan tidak ada terobosan yang seharusnya mampu dilakukan MK.

 

Posisi MK dengan segala keterbatasannya selalu menyebut diri sebagai mahkamah yang menjunjung keadilan substantif tidak tercermin dalam putusannya.

 

“MK berlindung di balik keadilan prosedural. Hanya menilai formalitas secara positivis. Di putusan, MK mengaku tidak ada aturan yang memadai terhadap proses perselisihan pemilu,” ucap Nur. Rabu (5/6)

 

Akan tetapi, kenyataannya MK seakan-akan meninggalkan begitu saja dugaan yang diajukan dalam gugatan pemohon. Dengan dalih tidak memiliki keyakinan dan cukup bukti, MK menolak keseluruhan gugatan. 


Padahal MK itu mempunyai waktu untuk memperdalam pemeriksaan lebih lanjut guna meyakinkan dirinya sebelum memutus,” ucapnya.

 

Kendati demikian, ada dissenting opinion, yang mengkritik proses pemilu. Namun MK yang seharusnya berperan menghadirkan keadilan substantif, malah luput mewujudkan hal itu dalam putusannya. MK menyebutkan banyaknya lubang dalam aturan tapi tidak dapat memberikan solusi dengan keputusannya. MK hadir sebagai penasihat, bukan wasit.

 

“Saya melihat para pemohon ini memuntahkan fakta, mereka memberitahu ada fakta ini. Fakta ini tidak bisa dinilai parsial. Ini pasti ada efek yang melingkupi tuduhan dari pemohon. Namun sayangnya MK gagal menganggap fakta-fakta itu sebagai satu rangkaian peristiwa yang utuh. MK terjebak dalam pemikiran positivis sehingga tidak melahirkan langkah luar biasa,” paparnya.

 

 Banyak bolong di UU Pemilu. Penyelenggara. Bahkan MK menghadiahkan pukulan telak bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak bekerja sebagaimana mestinya. Namun, sekali lagi disayangkan karena MK tidak mau memikirkan repot-repot hal itu di PHPU.

 

Nur mengatakan putusan MK tetap harus dihormati semua pihak. Namun ke depan, kemungkinan besar pasangan terpilih harus bersiap menghadapi banyak guncangan dalam 5 tahun roda pemerintahannya. Bisa berasal dari oposisi ataupun pihak lain.

 

(sil/sil)

 

 


×
Berita Terbaru Update