Ilustrasi Pilkada
2024.
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penjaga pintu
terakhir demokrasi. Sifat putusannya final dan binding sehingga tidak
memungkinkan adanya upaya hukum lainnya.
Pada 24 April 2024, putusan MK yang memutus sidang sengketa
Pilpres 2024 memutuskan menolak keseluruhan gugatan yang diajukan oleh pemohon
yang merupakan kandidat pilpres 01 dan 02.
Menariknya, dari 9 hakim yang menyidangkan, 3 hakim
menyatakan tidak sependapat dan membacakan dissenting opinion.
“Ini menarik meskipun putusannya ditolak keseluruhan, karena
putusannya final dan binding maka semua pihak harus menerima. Ini mekanisme
konstitusional satu-satunya. Namun ada poin-poin penting yang disampaikan di
dissenting opinion,” ujar pengamat politik Universitas Padjadjaran Firman Manan. Rabu(5/6)
Menurut Firman, salah satu pendapat hakim Saldi Isra yang
digarisbawahi terkait keadilan substantif yang seharusnya disoroti.
Firman mengaku sependapat dengan Saldi yang menyebut
evaluasi terhadap pemilu juga dijadikan pijakan untuk pilkada.
“Jangan sampai catatan dan dugaan pelanggaran, yang terjadi
di pemilu berulang di pilkada,” ucapnya.
Hal lain yang disoroti Saldi berkaitan dengan dua variabel
nonelektoral yakni bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparatur sipil negara
yang bisa memberikan pengaruh signifikan dalam pemilu.
Dikatakan Saldi, di masa Orde Baru sekalipun pemilu
dilaksanakan benar secara prosedural. Tapi tidak, jika bicara substansial. MK
sendiri sebetulnya memiliki kewenangan memeriksa perkara terkait prosesnya
tidak hanya angka.
“Karena putusan MK ini akan memberikan legitimasi pemilu ini
berintegritas atau tidak. Putusan tidak berkutat di angka,” ujar Firman.
Firman mencontohkan dalam demokrasi itu bicara tentang equal treatment, di mana para peserta memiliki kesetaraan kesempatan. Posisi peserta harus berada di level yang sama.
Demikian pula pemilih yang harus memiliki hak
bebas berpartisipasi. Publik, kata Firman tidak boleh diintimidasi dengan
guyuran program pemerintah dan mobilisasi sehingga mereka tidak lagi bebas
memilih.
“Pemilu jujur dan adil tidak hanya slogan. MK memastikan itu
terlaksana dengan benar sehingga pemeriksaan di MK memang harus di area
substantif,” katanya.
Ditambah lagi waktu
yang pendek seakan-akan membelenggu hakim MK. Mereka, kata Firman, seolah-olah
terpaksa mengalah pada hal-hal prosedural dengan alasan waktu yang tidak cukup
untuk pembuktian. Hal lain disoroti Firman, terkait kinerja penyelenggara yang
harus independen, imparsial, dan proaktif. Yang terjadi di pusat, lanjut
Firman, tidak boleh lagi terjadi di pilkada.
“KPUD dan Bawaslu harus mampu menunjukkan kinerja yang lebih
lagi saat pilkada,” katanya.
Firman mengatakan putusan MK ini tidak akan mengubah banyak
peta politik di Indonesia. Namun di perspektif elite, sejatinya, partai
pendukung 01 dan 03, tetap menjadi oposisi. Namun berkaca pada pengalaman
sebelumnya, Firman mengaku pesimis.
“Satu sisi pemerintah terpilih akan berupaya menarik ke
dalam kubu yang sama. Hal itu untuk mendapatkan dukungan di parlemen. Seperti
kelaziman sebelumnya, yang seharusnya oposisi tetap merapat,” katanya.
Dikatakan Firman, koalisi pendukung pemerintah juga penting,
tapi sebaiknya tidak terlalu gemuk. Ia menyebut di angka 50-60 persen sehingga
tidak perlu mengajak semua parpol bergabung dalam koalisi. Karena dampaknya,
fungsi kontrol parlemen tidak akan berjalan.
Apalagi, menurut Firman, parpol di Indonesia memiliki karakter yang pragmatis. Mereka menjadi bagian koalisi pendukung bukan dengan pendekatan program, tapi mengharapkan jatah jabatan. Sementara di akar rumput, kata Firman, tetap akan ada kelompok yang tidak puas.
Selain itu akan tetap ada suara kritis dari akademisi yang menjadi kontrol terhadap pemerintahan terpilih agar tetap berada di rel. Selain itu, ada catatan penurunan angka demokrasi yang menjadi alasan kuat mengawal demokrasi oleh akademisi.
Senada dengan
Firman, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Muhammad Nur Ramadhan
mengatakan putusan MK itu hanya menunjukkan tidak ada terobosan yang seharusnya
mampu dilakukan MK.
Posisi MK dengan segala keterbatasannya selalu menyebut diri
sebagai mahkamah yang menjunjung keadilan substantif tidak tercermin dalam
putusannya.
“MK berlindung di balik keadilan prosedural. Hanya menilai
formalitas secara positivis. Di putusan, MK mengaku tidak ada aturan yang
memadai terhadap proses perselisihan pemilu,” ucap Nur. Rabu (5/6)
Akan tetapi, kenyataannya MK seakan-akan meninggalkan begitu saja dugaan yang diajukan dalam gugatan pemohon. Dengan dalih tidak memiliki keyakinan dan cukup bukti, MK menolak keseluruhan gugatan.
“Padahal MK itu mempunyai waktu untuk memperdalam pemeriksaan lebih lanjut guna meyakinkan dirinya sebelum memutus,” ucapnya.
Kendati demikian, ada dissenting opinion, yang mengkritik
proses pemilu. Namun MK yang seharusnya berperan menghadirkan keadilan
substantif, malah luput mewujudkan hal itu dalam putusannya. MK menyebutkan
banyaknya lubang dalam aturan tapi tidak dapat memberikan solusi dengan
keputusannya. MK hadir sebagai penasihat, bukan wasit.
“Saya melihat para pemohon ini memuntahkan fakta, mereka
memberitahu ada fakta ini. Fakta ini tidak bisa dinilai parsial. Ini pasti ada
efek yang melingkupi tuduhan dari pemohon. Namun sayangnya MK gagal menganggap
fakta-fakta itu sebagai satu rangkaian peristiwa yang utuh. MK terjebak dalam
pemikiran positivis sehingga tidak melahirkan langkah luar biasa,” paparnya.
Banyak bolong di UU
Pemilu. Penyelenggara. Bahkan MK menghadiahkan pukulan telak bagi KPU, Bawaslu,
dan DKPP tidak bekerja sebagaimana mestinya. Namun, sekali lagi disayangkan
karena MK tidak mau memikirkan repot-repot hal itu di PHPU.
Nur mengatakan putusan MK tetap harus dihormati semua pihak.
Namun ke depan, kemungkinan besar pasangan terpilih harus bersiap menghadapi
banyak guncangan dalam 5 tahun roda pemerintahannya. Bisa berasal dari oposisi
ataupun pihak lain.
(sil/sil)