
Revisi UU Penyiaran dianggap bisa memberangus kebebasan pers.
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
mengkritisi draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang berpotensi mengancam
iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Selain itu juga bisa
menghambat pemberantasan korupsi.
"Sejumlah pasal multitafsir dan sangat berpotensi
digunakan oleh alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan sipil dan partisipasi
publik," kata Ketua YLBHI M Isnur dalam keterangan tertulisnya, Sabtu
(18/5/2024).
Isnur menyebut,
Pasal 50 B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran terkait larangan liputan investigasi
jurnalistik menjadi salah satu klausul yang multitafsir. Menurutnya, keberadaan
klausul itu telah merugikan masyarakat.
"Hal ini
jelas merugikan masyarakat, sebab, dalam lingkup pemberantasan korupsi, produk
jurnalistik kerap menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan
atau penyimpangan tindakan pejabat publik," terang Isnur.
Sebelumnya, Ketua
Komisi I DPR, Meutya Hafid menegaskan, sampai saat ini revisi Undang-Undang
(UU) tentang Penyiaran belum ada. Dia menyebutkan, yang menjadi polemik
belakangan ini hanya sebatas draf saja.
"RUU
Penyiaran saat ini belum ada, yang beredar saat ini adalah draf yang mungkin
muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draf, tentu penulisannya
belum sempurna dan cenderung multitafsir," kata Meutya dalam
keterangannya, Kamis 16 Mei 2024.
(tem/red)