Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat, dari hasil pemantauan dengan GPS Geodetic, laju penurunan tanah di Jakarta Utara mencapai 12 cm setiap tahunnya.
Jakarta- Ekspoitasi air tanah Jakarta yang telah di atas ambang batas normal telah menyebabkan kondisi Cekungan Air Tanah (CAT) memasuki zona kritis.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Suci Fitria Tanjung, menyatakan, jika tak segera dicarikan solusi, kerusakan ini bakal menimbulkan berbagai dampak lingkungan, seperti kontaminasi air akuifer di bagian atas dan bawah hingga penurunan permukaan tanah atau land subsidence.
“Ketika dieksploitasi berlebih, maka penyajian tanah di Jakarta itu sudah kehilangan kemampuannya untuk menopang tanah,” ujar Suci, dikutip Kamis (16/5/2024).
Eksploitasi air tanah saat ini tercatat sudah mencapai 40 persen, dari batas aman 20 persen.
Suci mengatakan, dampak kerusakan lingkungan yang paling terlihat saat ini ada di Jakarta Utara, dimana permukaan tanahnya sudah berada 4 meter di bawah permukaan air laut.
Suci mengatakan, salah satu cara mengendalikan penurunan tanah ini yakni dengan mengendalikan pengambilan air tanah dalam.
Ia mengatakan, beberapa tahun lalu memang terbit aturan
tentang zona bebas air tanah, utamanya di wilayah-wilayah protokol seperti
daerah Kuningan. Namun, sambung Suci, hal itu saja belum cukup, mengingat 90
persen permukaan tanah di Jakarta tertutup beton.
Menurut dia, harus ada daerah resapan air yang mengalir ke
tanah dalam. ”Maka kami Walhi Jakarta mendorong pemerintah untuk memaksimalkan
ruang permukaan hijau,” kata Suci.
Selain itu, dikatakan Suci, perlu adanya keseriusan
pemerintah dalam tata kelola air untuk kebutuhan Jakarta.
Berdasarkan data dari PAM Jaya pada 2023, kebutuhan air di
DKI Jakarta saat ini mencapai 24.000 liter per detik, sementara kapasitas
produksi PAM Jaya hanya sebesar 20.225 liter per detik. Kekurangan ini tentu
mengakibatkan defisit kebutuhan air bersih sekitar 4,000 liter per detik.
Di sisi lain, menurut laporan yang diterbitkan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2022, persentase rumah tangga yang
mempunyai akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan
mencapai sekitar 97,93 persen, sementara cakupan layanan air bersih hanya
sekitar 65,41 persen.
“Jadi sangat jauh dari cukup. Kurang sekali untuk memenuhi
kebutuhan per kapita Jakarta,” kata Suci.
Sementara itu, Ketua Indonesian Water Institute Firdaus Ali
menilai, perlu adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi dan pembangunan
jaringan baru pipa distribusi untuk mencukupi kebutuhan air bersih di Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta melalui BUMD PAM JAYA memberi target
tercapainya 100 persen penggunaan pipa akses air bersih pada 2030. Namun, untuk
mencapai target ini dibutuhkan peralihan dari masyarakat ataupun pemilik gedung
untuk beralih dari air tanah ke air bersih perpipaan, serta investasi yang
besar yang dibutuhkan untuk menyambungkan perpipaan ke kawasan-kawasan yang
cenderung lebih sulit dijangkau.
Menurut Ali, persoalan tersebut bisa teratasi asal
pemerintah terlebih dahulu membuat jaringan perpipaan secara merata, untuk
kemudian membuat aturan jelas. Jika hanya memberi larangan tanpa memberikan
solusi, hal ini tentu akan menimbulkan reaksi.
“Selama air perpipaan tidak cukup, ya tidak mungkin kita
merealisasikan upaya pengendalian permukaan tanah tadi,” kata Ali menambahkan
Ali mengaku percaya, target yang diberikan pada tahun 2030
bakal terlaksana. Selain itu, Pemprov harus mulai mencari sumber alternatif air
baku. Saat ini, dikatakan Ali, 82 persen kebutuhan air Jakarta berasal dari
Waduk Jatiluhur, sisanya 16 persen beli dari Tangerang.
Faktor lain yang tak kalah penting, yakni perawatan terhadap
jaringan air bersih tersebut, termasuk persoalan kebocoran baik administratif
maupun teknis.
”Kebocoran teknis dengan perbaikan penggantian pipa yang
sudah tua-tua karena lama pipanya itu, kebocoran administratif tadi, pencurian
air dan sebagainya ya itu harus dikendalikan,” kata Ali.