“Keadaan darurat yang diumumkan pemerintah Prancis dan
pengerahan tentara Prancis, ditambah dengan larangan terhadap aplikasi media
sosial TikTok, tidak boleh disalahgunakan untuk membatasi hak asasi manusia,”
kata peneliti Pasifik Amnesti Internasional, Kate Schuetze.
Schuetze, dengan memperhatikan banyaknya korban jiwa dalam
kerusuhan tersebut, mengatakan polisi Prancis dan gendarmeri hanya dapat
menggunakan kekuatan jika dalam keadaan sangat krusial, dan memprioritaskan
perlindungan hak untuk hidup.
Dia mengatakan bahwa pelarangan TikTok adalah tindakan yang
tidak setimpal, dan akan melanggar kebebasan berekspresi.
Schuetze menambahkan langkah seperti itu dapat menjadi
preseden bagi pemerintah lain di seluruh dunia untuk membenarkan penutupan
akses media sosial sebagai reaksi terhadap protes publik.
“Pihak berwenang Prancis harus menjunjung tinggi hak-hak
masyarakat adat Kanak dan hak untuk berekspresi dan berkumpul secara damai
tanpa diskriminasi. Orang-orang yang menyerukan kemerdekaan harus dapat
mengekspresikan pandangan mereka secara damai,” kata Schuetze.
Sejak Senin (13/5), sedikitnya enam orang tewas dalam
kerusuhan dan ratusan ditangkap. Protes memuncak setelah Majelis Nasional
Perancis mengesahkan reformasi konstitusi mengenai aturan pemungutan suara.
Reformasi ini akan memberi warga negara Perancis, yang telah
tinggal di pulau tersebut setidaknya selama 10 tahun, hak untuk memilih dalam
pemilihan umum lokal.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan keadaan darurat
di kepulauan itu pada Rabu (15/5) dan mengerahkan personel militer ke wilayah
tersebut.
(bbc/red)