Foto : Donald Trump dan Vladimir Putin
Washington - Donald
Trump pasti merasa tidak ada yang dapat menghentikannya saat ini. Ia akan
kembali ke Gedung Putih pada Januari 2025. Trump juga tidak akan menghadapi
banyak perlawanan di Kongres, mengingat sekutu Republiknya bakal mengendalikan
Senat dan mungkin juga DPR. Namun ada pihak yang ketar-ketir dengan terpilihnya
Trump.
Perang di Ukraina merupakan salah satu isu utama yang
kemungkinan akan ditangani Trump di awal masa jabatan keduanya, bahkan mungkin
sebelum ia memangku jabatan. Ia sebelumnya mengklaim akan menyelesaikan konflik
di Ukraina dalam debat bulan Juni melawan kandidat saat itu Joe Biden.
Stefan Wolff Profesor Keamanan Internasional di Universitas
Birmingham dan Kepala Departemen Ilmu Politik dan Studi Internasional dalam
sebuah artikelnya mengungkapkan, kesepakatan Trump kemungkinan besar berarti
mendorong Kyiv dan Moskow untuk menyetujui gencatan senjata di sepanjang garis
depan saat ini. “Kemudian memulai negosiasi tentang penyelesaian permanen,”
ujar Wolf mengutip Channel News Asia (CNA).
Apakah Artinya Mimpi Buruk bagi Ukraina?
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah mengucapkan
selamat kepada Trump atas kemenangannya, tetapi ia harus memasang wajah tegar
menghadapi prospek apa yang akan terjadi. Pendukung militer terbesar Ukraina
sekarang akan dipimpin oleh seseorang yang telah berulang kali mengancam akan
menarik dukungan.
Tak hanya itu, Trump pernah menyebut Zelenskyy sebagai
‘salesman terhebat’ karena mengamankan miliaran bantuan dari Washington. Ia juga
mengklaim akan segera mengakhiri perang - bahkan "dalam 24 jam" tanpa
menjelaskan seperti apa perdamaian itu nantinya.
Profesor Stefan Wolff juga mengungkapkan, kemungkinan besar,
perjanjian damai apa pun akan lebih sesuai dengan persyaratan Rusia daripada
Ukraina. Misalnya penerimaan Ukraina atas perolehan teritorial Rusia, termasuk
aneksasi Krimea pada 2014 dan wilayah yang diduduki sejak invasi skala penuh ke
Ukraina pada Februari 2022. Trump juga cenderung menerima tuntutan Presiden
Rusia Vladimir Putin untuk mencegah keanggotaan Ukraina di masa mendatang pada
Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO).
“Mengingat permusuhan
Trump yang terkenal terhadap NATO, ini juga akan memberi tekanan pada sekutu
Kyiv di Eropa. Trump dapat, sekali lagi, mengancam untuk meninggalkan aliansi
tersebut untuk membuat pemimpin Eropa menandatangani kesepakatan dengan Putin,”
tambahnya.
Agar kesepakatan
dapat berhasil, bahkan dalam jangka pendek, Trump memerlukan Putin untuk
menandatanganinya. Putin saat ini tidak berada di bawah tekanan khusus untuk
menerima kesepakatan apa pun. Rusia masih meraih kemenangan di Donbas dan
membalas di Kursk dengan bantuan pengerahan pasukan Korea Utara.
Dengan cara yang
sama di mana Trump kemungkinan akan mengancam memangkas semua dukungan dari
Kyiv agar Zelenskyy bergabung ke meja perundingan. Trump juga dapat memberikan
tekanan pada Moskow dengan mempertimbangkan lebih banyak dukungan militer untuk
Ukraina dan menghapus semua kendala pada penggunaan senjata AS dan sekutunya
terhadap target yang jauh di dalam Rusia.
Namun ini tidak
serta merta akan menghasilkan kemenangan Ukraina secara langsung, tetapi akan
membuat kemenangan Rusia mustahil diraih dalam waktu dekat dan mungkin akan
membalikkan sebagian perolehannya baru-baru ini di Ukraina timur. Mengingat
pengalaman Trump yang sering dipenuhi ketidakpastian, ini mungkin bukan
gertakan yang berani dilakukan Putin.
Pertempuan akan
Kian Sengit
Profesor Wolff
menambahkan ada kemungkinan lain yakni peperangan akan makin sengit terjadi di
Ukraina. Jika Trump menelepon Putin dan Zelenskyy segera, ekspektasi akan
mendorong diakhirinya perang kemungkinan besar akan berujung pada intensifikasi
pertempuran.
Moskow dan Kiev
sama-sama ingin mencapai posisi tawar yang lebih baik sebelum negosiasi apa
pun. Ini berarti Rusia akan kembali melakukan tekanan kuat di Ukraina timur,
meningkatkan serangan terhadap infrastruktur penting, dan kemungkinan lebih
banyak tentara Korea Utara yang terlibat dalam pertempuran di wilayah Kursk
Rusia.
kraina,
sebaliknya, kemungkinan akan memobilisasi sumber daya apa pun yang tersisa
untuk mencoba mempertahankan wilayah di dalam Rusia sebagai alat tawar-menawar
dalam negosiasi masa depan dan mendorong kembali, atau setidaknya
mempertahankan, garis depan saat ini. Terlepas dari hasil upaya kedua belah
pihak, semua ini tidak menjadi pertanda baik bagi krisis kemanusiaan yang sudah
terjadi di Ukraina.
Hubungan AS dan
Eropa Bisa Memburuk
Meningkatnya
pertempuran di Ukraina juga kemungkinan akan memperburuk hubungan antara AS dan
sekutu-sekutunya di Eropa. Di sini, kekhawatirannya adalah bahwa Trump
kemungkinan akan membuat kesepakatan dengan Rusia tanpa menghiraukan
sekutu-sekutunya di Uni Eropa dan NATO. Berarti pula mengancam mereka dengan
pengabaian.
Hal ini akan
merusak keberlangsungan kesepakatan apa pun dengan Moskow. Sejak dimulainya
invasi, tidak seorang pun yakin Rusia akan mematuhi persyaratan perdamaian.
Kondisi kemampuan
pertahanan Eropa yang relatif suram dan menurunnya kredibilitas payung nuklir
AS mau tidak mau mendorong Putin untuk terus mendorong ambisi kekaisarannya
lebih jauh setelah ia mendapatkan kesepakatan dengan Trump.
Jika saat itu AS
telah menyelesaikan penarikan strategis dari Eropa yang direncanakan Trump
untuk lebih fokus pada persaingan dengan China, Putin yang tidak terkendali
mungkin akan mengambil risiko di luar Ukraina dan mengancam NATO secara
langsung.
Jika sampai pada
titik itu, tindakan Trump bisa kembali disebut sebagai mengulang sejarah,
sebagai presiden AS yang mengulangi kesalahan mantan perdana menteri Inggris
Neville Chamberlain pada 1938. Ketika itu Chamberlain mengira ia bisa membuat
kesepakatan dengan Nazi Jerman yang akan membawa "perdamaian di zaman
kita" namun nyatanya tidak.
(cmbc/red)