Jakarta - Masyarakat
Indonesia semakin kesulitan belanja, akibat merosotnya daya beli. Deflasi pada
akhirnya pun terjadi dua bulan terakhir secara beruntun, dari Mei 2024 yang
sebesar 0,03 persen secara bulanan atau month to month (mtm) menjadi 0,08
persen pada Juni 2024.
"Jadi
deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun," ucap Ekonom dari
Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, dalam Program Profit CNBC Indonesia,
dikutip Selasa (2/7).
Menurut
Ninasapti, merosotnya daya beli masyarakat hingga menyebabkan deflasi pun juga
turut dikontribusikan oleh kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI
Rate yang terus ditahan di level tinggi beberapa bulan terakhir. BI Rate hingga
Juni 2024 masih ada di level 6,25 persen dari Maret 2024 sebesar 6 persen.
Dia menjelaskan
implikasi dari tren suku bunga kebijakan moneter yang tinggi memang memengaruhi
tertahannya laju investasi di sektor riil, hingga akhirnya meredam penciptaan
lapangan kerja. Bahkan, juga bisa menyebabkan biaya dana di sektor bisnis
semakin tinggi, sehingga mengharuskan efisiensi seperti pemutusan hubungan
kerja.
Mengutip Satu
Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024, memang
terdapat 27.222 orang tenaga kerja di Indonesia yang telah terdampak PHK.
Dibanding periode yang sama tahun lalu, jumlah korban PHK meningkat 48,48
persen. Sebab, pada catatan Januari-Mei 2023 jumlah tenaga kerja yang terkena
PHK 18.333 orang.
"Artinya
investasi terhambat jadi tekanan terjadi ke pengusaha dan terlihat dari
beberapa kebijakan yang juga tidak terlalu baik untuk pengusaha sudah terjadi
PHK, khususnya sektor-sektor padat karya, tekstil, di samping ada juga yang
digital," ucap Ninasapti.
Ia pun menekankan,
dengan adanya indikasi-indikasi yang berpotensi memperlambat laju pertumbuhan
ekonomi ke depan, biasanya otoritas moneter suatu negara akan mulai menurunkan
suku bunga acuannya kembali. Meski kurs rupiah tertekan saat ini, ia
mengatakan, BI sudah sepantasnya menurunkan suku bunga acuannya dengan melihat
rendahnya tekanan inflasi di dalam negeri.
"Yang jadi
catatan buat Indonesia inflasinya sudah sangat rendah dibanding kebijakan suku
bunga tinggi," tegasnya.
"Jadi yang
harus dilakukan tentu oleh pemerintah dua hal, menurunkan bertahap suku bunga
untuk kebijakan makro, kebijakan mikronya bantu sektor riil dalam arti
longgarkan kebijakan-kebijakan penciptaan lapangan kerja sehingga daya beli
masyarakat tidak tertekan," ungkap Ninasapti.
Dewan Pakar
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Danang Girindrawardana menambahkan, tren
kebijakan suku bunga acuan BI yang tinggi selama ini memang telah menekan iklim
usaha di dalam negeri. Sebab, biaya pinjaman menjadi sangat tinggi, sehingga
pelaku usaha cenderung menahan gelontoran investasinya untuk ekspansi usaha.
"Kan
tertinggi ini sepanjang sejarah kita di 6,25 persen dan masih dipertahankan.
Artinya kemudian ini juga akan membuat kesulitan bagi korporasi-korporasi dalam
rangka investasi, untuk mengkonsumsi bunga kredit yang landing page nya di atas
7 persen sudah," ujar Danang.
Tekanan suku
bunga ini ditambah dengan terus melemahnya nilai tukar rupiah beberapa hari
terakhir dalam jangka waktu yang lama, bahkan sempat menyentuh level Rp16.400
per dolar AS. Akibatnya, biaya produksi pun menjadi tinggi beberapa bulan lalu,
membuat saat ini hal itu tak lagi mampu diserap masyarakat hingga akhirnya
terjadi deflasi sejak Mei.
"Karena
komponen-komponen bahan baku dan komponen logistik untuk ekspor juga kebanyakan
menggunakan dolar AS. Nah deflasi yang terjadi saat ini terjadi begitu cepat
masalahnya. Ini problem yang lain," ungkap Danang.
Meski demikian,
ia mengakui penurunan kebijakan suku bunga acuan tidak akan serta merta
memperbaiki iklim industri dan memulihkan daya beli masyarakat. Sebab, masalah
yang tengah dihadapi Indonesia menurutnya sangat struktural, yakni semakin
tidak berdaya saingnya industri manufaktur RI sampai-sampai kontribusinya
terhadap produk domestik bruto (PDB) kian merosot.
Maka,
perbaikannya tak lain adalah dengan fokus melaksanakan pengembangan industri
manufaktur, dengan cara memperbaiki regulasi yang mendukung iklim usaha
industri manufaktur, khususnya padat karya seperti memperketat masuknya barang
impor konsumsi yang sebetulnya bisa diproduksi di dalam negeri.
"Para ekonom
sudah sering mengeluhkan hal itu mengingatkan pemerintah, 15 tahun yang lalu
pertumbuhan kontribusi manufaktur pada PDB itu di 29 persen, saat ini tinggal
12-16 persen, artinya terjadi proses yang disebut dengan deindustrialisasi
itu," ucap Danang.
(nrs/nrs)