
Anak-anak duduk di belakang truk saat terpaksa melarikan diri dari serangan Israel yang sedang berlangsung di Rafah, Gaza pada 8 Mei 2024 (Foto: Anadolu Agency/Ali Jadallah)
Gaza - Ketika
pada 6 Mei, tersiar kabar bahwa Hamas telah menerima proposal gencatan senjata,
perayaan pun terjadi di seluruh Gaza. Orang-orang turun ke jalan sambil
bersorak, percaya bahwa perang selama tujuh bulan seperti neraka telah
berakhir.
Segera menjadi jelas bahwa hanya satu pihak yang menerima
kesepakatan tersebut. Kelompok lainnya sudah bertekad untuk melanjutkan
pembantaian brutal terhadap warga Palestina. Israel terus melakukan invasi ke
Rafah, tempat lebih dari satu juta orang dari bagian utara dan tengah jalur
tersebut mencari perlindungan, karena percaya pada jaminan Israel bahwa ini
adalah “zona aman”.
Pada 7 Mei, tentara Israel merebut perbatasan Rafah dengan
Mesir, satu-satunya jalan keluar bagi warga Palestina yang dapat mengungsi dan
bagi mereka yang terluka atau sakit yang berhasil mendapatkan izin Israel untuk
pergi. Wilayah ini juga merupakan jalur akses utama bagi bantuan kemanusiaan
yang diizinkan Israel untuk masuk ke wilayah tersebut.
Jurnalis Al Jazeera, Eman Alhaj Ali dalam laporannya
kemarin, mengungkapkan, berita tentang serangan ke Rafah itu menghancurkan
sedikit harapan warga Palestina untuk pergi. Warga benar-benar tidak punya
tempat tujuan dan terpaksa menghadapi kematian akibat pemboman, kelaparan atau
penyakit.
Israel menyampaikan perintah evakuasinya ke seluruh dunia
dengan alasan sebagai bentuk kepedulian terhadap warga sipil Palestina. Namun
Israel tahu bahwa memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain setiap
beberapa minggu adalah sebuah bentuk penyiksaan.
Lebih dari setengah juta warga Palestina telah meninggalkan
Rafah, lapor PBB. Keluarga-keluarga yang telah mengungsi beberapa kali harus
mengemasi barang-barang mereka lagi dan menghadapi ketidakpastian.
Bayangkan, warga yang mengungsi harus membayar mobil pribadi
atau kereta yang ditarik hewan untuk memindahkan mereka. Mereka yang tidak
punya uang mencoba berjalan kaki. Beberapa dari mereka terlalu miskin atau
mempunyai anggota keluarga yang sakit atau lanjut usia sehingga tidak dapat
melakukan perjalanan.
Setengah juta orang yang meninggalkan Rafah harus tinggal
bersama kerabatnya – jika mereka beruntung – atau mendirikan tenda di mana pun
mereka punya tempat. Tidak ada makanan, air atau kebutuhan dasar lainnya yang disediakan. Yang terpenting, tidak ada
jaminan keamanan. Sehari yang lalu, sebuah keluarga yang baru saja melarikan
diri dari Rafah terbunuh ketika tentara Israel mengebom sebuah rumah di kamp
Nuseirat.
Perpindahan orang dalam jumlah besar ini memberikan tekanan
besar pada komunitas tempat mereka tinggal. Perkelahian terjadi di antrian
untuk mendapatkan air dan roti. Harga bahan pangan pokok meroket. Penggusuran
paksa yang terus-menerus ini menghancurkan tatanan sosial masyarakat Palestina.
Hidup dalam pengungsian adalah sesuatu yang tidak boleh
dialami oleh anak-anak atau orang dewasa manapun. Orang-orang berdesakan di
dalam ruangan atau tenda, terkadang lebih dari selusin orang. Tidak ada toilet,
kamar mandi, sanitasi yang layak. Tidak ada privasi atau ruang pribadi.
Penyakit yang tadinya bisa diberantas, kini tersebar luas.
Orang-orang tertular hepatitis dan virus perut secara teratur. Ketika suhu
meningkat, serangan panas merenggut banyak nyawa, termasuk bayi dan anak-anak.
Pengusiran paksa terus-menerus dilakukan Israel terhadap
warga Palestina yang sudah menjadi pengungsi juga melanggar kenormalan yang
coba dibangun oleh orang tua terhadap anak-anak mereka.
“Sebulan yang lalu, saya mengunjungi salah satu kamp di
Rafah. Di sana saya bertemu Nesreen Ayoub, yang terpaksa meninggalkan rumahnya
di Kota Gaza bersama keluarganya,” kata Eman Alhaj Ali. Setelah kehilangan
begitu banyak hal, dia menemukan penghiburan pada putrinya, Tasneem, yang
belajar di sekolah darurat dan kembali ke tenda dengan secercah kegembiraan,
sesuatu yang jarang terjadi di masa-masa sulit ini.
Para guru dan lulusan universitas dengan sukarela mengajar
anak-anak, berharap dapat membangkitkan semangat mereka di tengah keputusasaan.
“Saya juga bertemu Samia al-Khor, seorang guru bahasa Arab, yang juga melarikan
diri dari utara. Kerinduannya akan ritme ruang kelas yang familiar telah
mendorongnya untuk mengumpulkan anak-anak yang ingin belajar dan mengajari
mereka bahasa Arab di atas puing-puing yang telah ia ubah menjadi papan tulis.”
Kamp tersebut adalah salah satu daerah pertama di Rafah yang
diperintahkan Israel untuk dievakuasi. Ruang kelas darurat telah dibongkar,
proses belajar mengajar pun ditolak. Warga Palestina harus kehilangan momen
kebahagiaan sekecil apa pun. Begitulah pemikiran Israel.
Ingat kemarahan media Israel terhadap adegan anak-anak
Palestina yang mencoba menenangkan diri di laut di tengah panas terik? Melihat
peristiwa ini sepertinya tidak boleh ada jeda bagi warga Palestina. Mereka harus
dihukum dengan penderitaan abadi.
Gaza adalah “neraka di bumi”, seperti yang dikatakan PBB.
Suara drone dan jet tempur, deru pemboman dan penembakan, bau mayat yang
membusuk dan limbah mentah, pemandangan lingkungan yang rata, rasa lapar dan
haus, penderitaan karena kehilangan orang yang dicintai.
Emosi yang ada bukanlah ketahanan, melainkan kesedihan,
keputusasaan, dan teror. Mitos ketahanan warga Palestina runtuh ketika
menghadapi penderitaan tak terbayangkan yang menimpa mereka kali ini lagi-lagi
akibat kekejaman Israel.
(mdi/mdi)