Puluhan jurnalis menggelar aksi hari kebebasan pers sedunia
di jalan MT Haryono, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (3/5). Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Kendari berharap peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World
Press Freedom Day) yang jatuh pada 3 Mei merupakan momentum kebebasan pers
lebih baik.
Jakarta - Kemerdekaan
pers dan kebebasan berekspresi di Tanah Air tengah menghadapi upaya
pembungkaman.
Tidak hanya menyasar pewarta, kriminalisasi terhadap
narasumber kini ikut digunakan sebagai senjata untuk menghasilkan efek bungkam
dan jera. Padahal, narasumber merupakan salah satu unsur utama dari
pemberitaan.
Kriminalisasi terhadap narasumber kali ini menimpa Sekjen
PDIP, Hasto Kristiyanto. Hasto dipanggil kepolisian untuk pemeriksaan dugaan
tindak pidana Penghasutan dan atau Menyebarkan Informasi Elektronik dan atau
Dokumen Elektronik Yang Memuat Pemberitaan Bohong Yang Menimbulkan Kerusuhan di
Masyarakat.
Hal itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 KUHP dan atau
Pasal 28 ayat (3) Jo. Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang terjadi di Jalan Jenderal Gatot Subroto
Nomor 1 (depan gedung DPR-MPR RI) dan Gambir, Jakarta Pusat pada tanggal 16
Maret 2024 dan tanggal 19 Maret 2024. Pelapor Hasto ialah Hendra dan Bayu
Setiawan.
"Saya agak heran karena yang dipersoalkan itu adalah
wawancara saya dengan salah satu media, yaitu dengan SCTV. Padahal, fungsi
partai itu melakukan pendidikan politik, fungsi partai itu melakukan komunikasi
politik, termasuk menyuarakan hal-hal yang tidak benar," tutur Hasto.
Pelaporan terhadap Hasto menjadi fenomena atau modus baru
dalam membungkam dunia jurnalistik, yakni dengan melaporkan narasumber atas
informasinya yang disajikan di media massa.
Dasar tersebut, kerap dijadikan pelapor sebagai landasan
untuk memasukkan ke ranah pidana. Langkah ini menjadi krusial terhadap
kebebasan berekspresi khususnya pers.
“Ini bukan sekali dua kali terjadi,” ujar Ketua Umum Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, kepada detikbatam, Selasa (4/6/2024).
AJI sering mendapatkan narasumber pemberitaan yang justru
berhadapan dengan hukum setelah wawancara dengan jurnalis dan pernyataannya
ditayangkan.
Padahal pernyataan atau informasi narasumber dalam
pemberitaan merupakan produk jurnalistik, dan yang bertanggung jawab adalah
pemimpin redaksi (Pemred) media pers tersebut.
“Kasus yang paling baru, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia
mendatangi Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri di Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan pada Selasa petang, 19 Maret 2024 lalu,” ujar Nany.
Dalam perkara ini, Bahlil melaporkan narasumber Tempo yang
mengungkap penyimpangan terkait kebijakan pencabutan dan pemulihan ribuan izin
usaha pertambangan (IUP).
Ada 13 item pengaduan redaksional yang diadukan Bahlil
terhadap Tempo, baik melalui platform majalah maupun ‘Bocor Alus Politik’ yang
tayang pada Sabtu, 2 Maret 2024.
“Juga kasus-kasus kekerasan seksual, di mana narasumbernya
yang menjadi korban kasus kekerasan seksual dilaporkan. Ini terjadi pada
narasumber media Project Multatuli,” ujar Nany.
Berdasarkan catatan Tirto, narasumber Project Multatuli
memang sempat dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) karena membeberkan kasus kekerasan seksual yang dialami
anaknya.
Pelaporan itu dilakukan terduga pelaku yang memperkosa tiga
anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 2021.
Dalam produk jurnalistik Project Multatuli tahun ini, dua
narasumber mereka juga dilaporkan ke polisi karena membeberkan kasus dugaan
kekerasan seksual.
Narasumber itu, yang merupakan ibu korban dan pendamping
hukum pihak korban, dilaporkan ke Polres Baubau dengan Pasal 310 ayat 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE juncto Pasal 45 UU
19/2016. Pelapor adalah A, yang menilai kedua narasumber itu menyebarkan berita
bohong dan fitnah.
Selain itu, kriminalisasi terhadap narasumber juga sempat
menyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo. Agus
dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa)
Nusantara.
Laporan tersebut terkait pernyataan Agus soal Presiden Joko
Widodo yang mengintervensi kasus korupsi e-KTP. Agus ketika itu sedang menjadi
narasumber dalam program Rosi di Kompas TV.
Nany mengatakan, banyaknya kasus kriminalisasi terhadap
narasumber menjadi preseden buruk dan mengganggu demokrasi, terutama kebebasan
berpendapat di Indonesia. Ancaman kriminalisasi narasumber pemberitaan ini,
kata dia, akan merugikan bukan hanya jurnalis tetapi juga publik.
Selain menyulitkan jurnalis mendapatkan narasumber,
kasus-kasus pelaporan seperti ini juga merugikan publik yang seharusnya
mendapatkan informasi yang benar dan penting.
Jika ini terus dibiarkan, orang akan semakin takut menjadi
narasumber, atau juga menjadi saksi untuk mengungkap sebuah kejahatan korupsi
dan kejahatan lainnya.
“Karena yang dihadapi ancaman hukuman pidana maupun
perdata,” ujarnya.
Dia menegaskan, narasumber berita dalam hal ini merupakan
bagian dari produk jurnalistik. Oleh karena itu, narasumber tidak dapat
dipidana karena dilindungi oleh Undang-undang Pers.
Jika kemudian, lanjut dia, ada pihak-pihak atau pelapor yang
menolak isi berita atau terjadi sengketa harusnya diselesaikan dengan mekanisme
hak jawab dan hak koreksi yang ada di UU Pers. Jika belum cukup, pihak yang
berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat melapor ke Dewan Pers untuk
penyelesaian sengketa itu.
“Penyelesaiannya dengan hak jawab dan hak tolak sesuai
dengan UU Pers, bukan malah mengkriminalisasi narasumbernya. Polisi juga
seharusnya mengarahkan laporan itu ke Dewan Pers karena produk pers harusnya
ditangani dengan UU Pers, bukan UU lain,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade
Wahyudin, mengatakan harusnya memang jika terkait narasumber karya jurnalistik,
mekanisme yang dilalui saat terjadi keberatan adalah mekanisme sengketa pers
atau hak jawab. Karena jika penggunaan pasal 160 KUHP dan 28 ayat 3 UU ITE
sangat tidak tepat.
“Karena delik informasi bohong di UU ITE delik materil.
Harus ada kerusuhan secara fisik. Jadi jika hanya pro kontra di media sosial
itu tidak masuk dalam unsur 28 ayt 3,” jelasnya kepada detikbatam, Selasa (4/6).
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi
Hendriana, menambahkan dalam kasus pelaporan Hasto, polisi sudah melayangkan
surat ke Dewan Pers sebelumnya.
Sedangkan Dewan Pers sudah menjawab tertanggal 1 April 2024
lalu yang kaitannya adalah: narasumber berita merupakan bagian dari produk
jurnalistik dan tidak tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-Undang
Pers.
“Ada yurisprudensi juga dari Mahkamah Agung saat memutus
perkara narasumber berita yang dilaporkan. Sebab, produk jurnalistik sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pers, bukan narasumber,” kata Yadi, Selasa (4/6).
Polisi Harus Berhati-hati
Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, meminta
kepolisian untuk berhati-hati dalam menghadapi laporan terhadap Sekjen PDIP,
Hasto, terkait dugaan tindak pidana Penghasutan dan atau Menyebarkan Informasi
Elektronik dan atau Dokumen Elektronik Yang Memuat Pemberitaan Bohong Yang
Menimbulkan Kerusuhan di Masyarakat.
“Polisi perlu berhati-hati dalam hadapi laporan soal Hasto
Kristiyanto,” ujar dia.
Dalam perkara ini, lanjut Andras, perlu diketahui siapa
orang sebenarnya di balik pelaporan Hasto Kristiyanto kepada polisi. Karena
intimidasi terhadap politikus yang berseberangan dengan pemerintah, tentu akan
menimbulkan kesan bahwa dia sedang diintimidasi.
“Padahal pejabat pemerintahan Jokowi sering klaim bahwa
Indonesia adalah negara demokratis,” ujarnya.
Dia mengatakan, jika pemerintahan Presiden Jokowi
benar-benar ingin memperkuat demokrasi di Indonesia, maka Kepala Negara perlu
memberitahukan secara publik bahwa laporan tersebut tidak perlu.
“Atau setidaknya mengatakan bahwa dia tak setuju dengan
laporan dari individu yang melaporkan Hasto,” pungkasnya.